Ekstra Part |2

14.6K 562 63
                                    

Dua tahun kemudian....

Liburan semester, siapa yang tak senang hati menyambut hari-harinya? Libur panjang dari sekolah yang penuh dengan materi yang memusingkan bagi otak, namun itu sama sekali tak berlaku bagi Angga, anak itu selalu saja bisa bersantai meski diberikan banyak pertanyaan.

"Yah, duel yuk sama aku." ajak Angga kepada ayahnya yang sedang bersantai dengan secangkir kopi di ruang tengah.

Ryan menoleh ke arah anaknya yang satu ini dengan dahi berkerut heran. "Duel?" ulangnya.

Angga mengangguk santai, menatap sang ayah dengan manik mata berbeda warna miliknya. "Iya, duel memanah sama Angga, yuk!" ajaknya lagi.

Ryan mendengus pelan, anaknya yang satu ini tak akan menantangnya duel kalau tidak ada maunya. "Oke, Angga. Sekarang bilang, kamu sebenarnya mau apa? Hm?" tanyanya penasaran.

Anak itu mendongak menatap ayahnya datar, "Akselerasi class, Angga mau pindah ke Jepang dan segera namatin pendidikan. Angga, bosan sama materi yang diajarin di sekolah, terlalu cepat dan mudah buat dikerjakan sama Angga." jawabnya tak terduga.

Kedua mata milik sang ayah itu menatap anaknya menyelidik, mencari kebohongan di sana. "Akselerasi class? Kamu yakin, Ngga?" tanyanya curiga.

Anggara mengangguk yakin, "Yes, father. I will goes to acceleration class in the Japan." (Ya, ayah. Aku ingin pergi untuk kelas akselerasi di Jepang.) jawabnya mantap.

"Anggara Athanion, katakan apa tujuanmu yang sebenarnya pada ayah! Katakan sekarang!" tegas Ryan kepada anaknya itu.

Anak itu tersenyum miring menatap ayahnya, lalu sedikit membenarkan rambutnya yang terterpa angin. Ia memiringkan kepalanya bersalah, "Angga, mau istirahat dulu selama beberapa tahun dari keluarga ini. Aku pengen menghapus kebiasaan baru aku di sana. Kalau aku tetap di sini, aku takut kalian yang akan kena imbasnya." jelasnya parau.

"Apa tadi? Kebiasaan barumu?" tanya sang ayah curiga.

Angga mengangguk bersalah, "Iya, ayah. Aku takut itu bisa berimbas nyakitin kalian semua, Angga takut." ujarnya seraya menunduk dalam.

Ryan yang melihat anaknya seperti itu segera berdiri dan memeluk erat sang anak, sepertinya kali ini Anggara benar-benar takut untuk menghadapi sesuatu yang ingin dihindarinya segera.

"Anggara takut? Memangnya kenapa kebiasaan barumu itu, Ngga?" tanyanya melembut.

Anak itu mendongak menatap dalam ayahnya, "Angga, bisa berubah jadi psycopath secara gak sadar." ujarnya ketakutan.

'Hah? Anggara psycopath?'

•••

"Hiks.... Bang Angga benar-benar mau pergi ninggalin kita, ya?" tanya si bungsu berharap.

Anggara mengangguk, sebenarnya ia juga tak ingin meninggalkan kedua saudaranya itu di sini. Namun, ia sendiri takut dengan dirinya yang sewaktu-waktu bisa lepas kendali dan menjadi seorang psycopath yang keji.

"Udah, dek. Nanti kita semua bakal bareng-bareng lagi kok saat kita masuk SMA. Jangan nangis, ya?" kedua tangan mungil Angga menghapus air mata adiknya yang mengalir itu.

Mata ungu itu menatap kakaknya berharap, lalu kemudian menganggukkan kepalanya antusias. "Janji, ya? Bang Angga?" pintanya penuh harap. 'SMA nanti ya? Apa iya udah udah sembuh?'

Anak laki-laki itu mengangguk lemah, antara tak tega dan takut tak bisa menepatinya. "Janji, Anggara janji sama Evangga." ujarnya berusaha menghibur adiknya itu.

"Angga di sana, jangan lupain kita, ya?"

Kali ini, giliran sang kakak tertua yang bicara. Mata polosnya menyorot sang adik yang akan segera pergi meninggalkan dirinya dan semuanya. Anak berusia tujuh tahun itu sebenarnya merasa bersalah, kenapa harus Anggara yang pergi? Bukan dirinya saja yang notabe-nya seorang anak angkat di keluarga.

"Angga baik-baik ya di sana? Jangan pernah lupain kita, ya?"

Angga mengangguk cepat-cepat, lalu sang kakak segera memberi pelukan hangat untuk dikenangnya. Disusul oleh Eva yang juga ikut memeluk keduanya erat, anak perempuan itu masih terisak dalam pelukannya.

"Bang Angga harus sehat ya, di sana?" tambahnya berharap.

Bibir Anggara melengkung simpul, bersyukur memiliki keluarga yang peduli padanya seperti ini. Apa lagi bundanya, wanita yang menangis dalam diam karena kondisinya beberapa hari yang lalu.

"Hm, see you semuanya. Anggara pergi dulu."

•••

Satu bulan kemudian....

"UNCLE GEO!!"

Evangga memekik senang saat melihat sang paman berada di depan rumahnya. Kakinya dengan cepat berlari untuk memeluk sang paman. Entahlah, mungkin itu karena akhir-akhir ini sang paman baru mengunjunginya setelah sekian lama.

Geo yang melihatnya segera mendudukkan anak itu di pangkuannya. "Eh!! Princess!? Abang kamu mana? Hm?" tanyanya gemas.

Anak perempuan itu mendongak, kali ini matanya menyimpan kesedihan di dalamnya. "Abang Angga udah pergi, uncle? Kalau bang Vano, di masih siap-siap di kamarnya." jawabnya parau.

Rencananya, hari ini Vano akan mulai ikut tinggal bersama Geo karena ingin menenangkan hatinya untuk sesaat. Beberapa minggu yang lalu, Gea menemukan anak itu menangis di pojok ruangan karena merasa bersalah dengan kepergian sang adik.

Di malam itu, Vano yang biasanya selalu tegar menjadi seorang anak biasa yang bisa menangis saat berada dalam dilema. Anak itu meminta waktu untuk ikut pamannya dan menata ulang semuanya sampai ia sendiri siap menghadapi kenyataan.

"Udah, dong. Eva jangan sedih, bang Vano di sana kan, cuma sebentar aja. Nanti dia bakal balik lagi kok sama kita." hibur Gea yang baru saja menyuguhkan segelas jus untuk kakaknya.

Mata anak itu menatap bundanya dengan binar berharap, "Beneran, bun? Bang Vano bakal balik kan sama kita?" tanyanya antusias.

Gea mengangguk, tangannya mengelus sayang puncak kepala anak perempuan ini. "He'em, nanti kita semua sama-sama lagi, sama bang Anggara juga, ya?" tawarnya yang langsung disambut antusias oleh Eva.

"Uncle, ayo kita pergi."

Semua mata di sana secara bersamaan menatap Vano yang telah siap dengan sekoper penuh pakaiannya. Anak berusia tujuh tahun itu menatap mereka semua bergantian, sebenarnya ia sendiri takut untuk meninggalkan keluarga ini dan pergi bersama sang uncle. Namun, mau bagaimana lagi? Ia sendiri tak bisa tenang setiap kali memikirkan Anggara di sana.

"Bang Vano beneran mau pergi?"

Mendengar pertanyaan itu dilontarkan adiknya, Vano mengangguk yakin. "Hm, maaf ya? Bang Vano harus pergi dulu tinggalin Eva." ujarnya bersalah.

"Ga papa, kok. Eva kan kuat!" seru sang adik keras yang membuat Vano mengembangkan senyumnya lebar.

"Tapi, bang Vano harus janji dulu sama Eva. Ya?" pintanya berharap.

Dahi anak laki-laki itu berkerut menatap sang adik, "Janji? Apa janjinya? Hm?" tanyanya heran.

"Janji kita bakal sama-sama lagi nanti! Janji?" ujar Eva antusias.

"Janji!"









—29 Agustus 2020—
Dianashevy05🌿

Devil in Your (ANGGARANTA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang