Sisi hanya diam melihat Digo membawanya ke luar kota. Ia tau kemana Digo akan membawanya.
Digo membelokkan mobilnya memasuki pelataran Villa.
Sisi masih diam seperti selama perjalanan tadi.
Digo membukakan pintu untuk Sisi dan menyuruhnya keluar.
Sisi turun dan mengikuti langkah Digo masuk ke dalam Villa. Hari sudah malam. Sisi merasa lelah. Lelah menjalani semua kepura-puraan. Lelah berpura-pura ia baik-baik saja sementara hatinya tidak.
Sisi duduk di ujung sofa berwarna krem dengan diam.
Digo mengambil air mineral, menuangkannya ke dalam water heater dan menunggunya mendidih. Diseduhnya dua cangkir kopi dan diberikannya satu pada Sisi.
Digo meniup kopinya dan meminumnya sedikit, lalu meletakkannya di meja.
Ditatapnya mata Sisi. Ada banyak kelelahan dan luka disana. Digo tidak mengerti kenapa Sisi berubah seperti ini.
"Si, kamu sudah makan?" tanya Digo lembut. Kelembutan yang membuat Sisi semakin terjerat dalam dilema.
"Sudah kok," jawab Sisi akhirnya setelah sekian lama bungkam.
Digo menatap dalam mata Sisi. Seolah ingin menyelami apa yang tersirat dalam mata bening itu. Dihelanya nafas panjang dan dihembuskannya perlahan.
"Si, boleh aku tau kenapa?"
"Gue udah pernah bilang kan? Gue capek terus-terusan sandiwara. Gue punya kehidupan sendiri. Gue kepingin hidup gue itu normal, apa adanya. Gak terus menerus bersandiwara," cetus Sisi berusaha menekan perasaannya.
"Sandiwara.... Oh.... Mmm.... Kamu pengen kita hentikan sandiwara itu?" tanya Digo hati-hati.
Sisi mendongak menatap Digo, lalu menunduk lagi dan mengangguk kecil.
"Kenapa? Bukannya kamu bilang kalo kamu mau bantu aku dan nerusin sandiwara itu?" tanya Digo lagi.
"Gue... Gue sudah gak bisa," jawab Sisi susah payah.
"Karena kamu sudah punya pacar?" Digo menekankan kata pacar.
Sisi menatap Digo tajam dan menggeleng.
"Tidak... Bukan itu...gue cuma... Gue gak bisa..." Sisi menghela nafas panjang.
Digo menatap Sisi muram. Apakah secepat ini ia kehilangan Sisi? Rasa tidak rela menguasai hatinya.
"Apa dengan begitu pertemanan kita ikut berakhir?" gumam Digo lirih.
Sisi ingin sekali menghapus raut muram dihadapannya itu dan menggantinya dengan senyum jahil yang biasa menggodanya.
Sisi tersenyun samar. Digenggamnya jemari Digo lembut. Ditatapnya mata gelisah itu dengan senyum menenangkan.
"Kadang hidup ini gak sesuai dengan harapan kita. Tapi kita tetap harus menjalaninya kan?" kata Sisi pelan.
"Si, aku mau kamu dengerin aku," Digo memantapkan hatinya. Ia harus jujur pada Sisi tentang perasaan yang sebenarnya. Tidak ada kepura-puraan. Sesuatu yang seharusnya ia lakukan sebelum sandiwara konyol itu terjadi.
"Kita kesini mau bicara kan? Tentu saja lo boleh ngomong, dan gue mau kok dengerin," Sisi tersenyum pada Digo yang terlihat tegang.
Digo tersenyum dipaksakan. Dimantapkannya hatinya. Ia harus mengungkapkan semuanya kalau ia tidak mau kehilangan Sisi.
"Si, kamu tau kenapa aku ngotot ber aku kamu?" ditatapnya mata Sisi lekat-lekat.
Sisi menggeleng pelan.
"Kamu tau gak kenapa aku sering berakting marah-marah karena cemburu?" tanya Digo tersenyum samar.
Sisi menggeleng lagi.
"Dan kamu tau gak kenapa aku sering terbawa suasana dan mencium kamu tanpa direncanakan?" senyum Digo salting. Jemarinya menggenggam jemari Sisi dan meremasnya lembut.
Sisi kembali menggeleng. Kali ini kepalanya menunduk, pipinya memerah. Tersipu.
Digo menghela nafas dan menghembuskannya pelan-pelan.
"Karena aku sayang kamu tidak dengan kepura-puraan."
Sisi mendongak menatap mata Digo tidak mengerti.
Digo tersenyum.
"Aku ngotot ber-aku kamu karena aku tidak berpura-pura dengan hati aku. Aku sering berakting marah-marah karena cemburu, itu aku gak sedang ber akting. Aku benar-benar cemburu. Aku bukan aktor yang hebat seperti katamu. Dan aku benar-benar merasakan kecemburuan itu menyiksa aku. Dan....kenapa aku sering terbawa suasana dan mencium kamu tanpa rencana..... Itu.... Itu karena.... Karena.... Aku.... Aku jatuh cinta sama kamu..."
Sisi membulatkan matanya tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Apa ia harus mempercayai yang didengarnya? Semua ini terasa seperti mimpi. Perasaannya meluap membuat matanya terasa panas dan berkaca-kaca. Airmatanya siap meluncur.
Tapi.... Apa mungkin? Segaris ragu melintasi pikirannya.
"Sisi, kamu boleh tidak percaya. Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Aku cinta sama kamu. Aku sudah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali aku melihat kamu yang dengan panik menanyakan apakah aku tidak apa apa karena kejatuhan buku yang tebalnya mengalahkan kamus lengkap bahasa Indonesia. Lalu pertemuan-pertemuan kita berikutnya tanpa sengaja membuat aku makin yakin dengan perasaanku," Digo mengambil nafas sejenak. Menatap Sisi yang melihatnya dengan takjub.
"Lalu aku ingin mengatakan semua perasaanku ke kamu tapi aku takut kamu akan menjauhiku karena usia pertemanan kita yang baru sebentar. Dan.... Karena gugup dan panik, aku malah memintamu menjadi pacar pura-puraku," Digo menghembuskan nafasnya lega meski hatinya masih belum tenang karena was was dengan reaksi Sisi.
(Bersambung)

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
FanfictionKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...