Sisi dan Nayla sampai di rumah dengan perasaan puas. Meskipun lelah, tapi semua kelelahan itu terbayar dengan kepuasan karena sukses yang mereka raih hari itu. Hampir semua undangan yang datang merasa puas dengan hidangan yang mereka sajikan. Bahkan beberapa dari mereka meminta kartu nama Nayla.
Galang pun merasa senang dengan kesuksesan pembukaan showroomnya yang baru, serta banyaknya undangan yang memuji makanan yang disuguhkan.
Sebuah awal yang baik menurut Nayla untuk memperkenalkan cafe nya lebih luas lagi.
Sisi menghempaskan tubuh mungilnya di sofa dekat Nayla duduk beristirahat.
"Gue seneng deh, hari ini acaranya sukses," ucap Sisi tersenyum lebar.
"Iya... Gue juga seneng... Tapiii.... Lo berhutang cerita sama gue," kata Nayla melirik Sisi.
"Cerita apa?"
"Tentang perkataan lo tadi, bahwa lo nggak mau terlalu berharap. Apa sih maksud lo?" tanya Nayla menuntut jawaban.
"Ya.... Karena gue harus tau diri, Nay. Karena gue gak boleh terlalu berharap kalo gak mau terlalu sakit saat semua tidak berjalan sesuai rencana," jawab Sisi diplomatis.
"Sebenernya lo sama Digo ada masalah apa sih? Selama ini gue lihat hubungan lo baik-baik aja? Apa ada yang lo sembunyiin dari gue?" selidik Nayla.
"Dua minggu lalu, Digo ngajakin gue tunangan, terus menikah."
"Bagus dong! Berarti Digo sungguh-sungguh dengan hubungan kalian."
"Tapi gue sama Digo itu berbeda, Nay. Gue sadar kok Digo siapa dan gue siapa. Gue tau diri banget. Dan gue sadar siapa sih gue?" jawab Sisi meluruskan kakinya.
"Tapi lo sudah bicara tentang ini sama Digo kan?"
"Sudah," sahut Sisi, matanya menatap langit-langit.
"Apa kata Digo?"
"Hmmm.... Dia cuma bilang, selama gue sama dia saling sayang dan saling cinta, itu semua bukan masalah."
"Trus, apa dong masalahnya?"
"Masalahnya kita hidup itu bukan hanya hari ini. Tapi ada masa lalu dan masa depan. Kita tidak bisa memgabaikan orang-orang di sekeliling kita begitu saja. Itu egois namanya. Digo punya orang tua yang harus dihargai dan diperhitungkan keberadaan dan pendapatnya," Sisi berkali-kali menarik nafas berat.
"Bener juga sih. Gue salut sama lo yang berfikir sampai sejauh itu. Kalo gue di posisi lo, belum tentu gue berfikir seperti lo. Hmmm.... Untung aja Mama Tristan mau nerima gue apa adanya. Malah dia sayang banget sama gue. Mungkin karena gak punya anak cewek kali ya," ujar Nayla merenung.
"Gue belum tau apakah orang tua Digo sama dengan Mama Tristan ke elo. Terus terang gue takut Nay. Gue takut perbedaan ini bakal ngejauhin gue sama Digo. Secara gue udah sayang banget sama dia," kata Sisi sendu.
Nayla memeluk Sisi, menyalurkan ketenangan yang sedapat mungkin ia berikan buat sepupu satu-satunya.
Nayla teramat mengerti kondisi ini. Karena sebenarnya ia tak jauh berbeda dengan Sisi. Hanya mungkin keberuntungan masih berpihak kepadanya. Dan ia berharap semoga Sisi mendapatkan keberuntungan itu juga.
........
Minggu pagi itu terasa sejuk. Sisi sedang duduk di bangku taman,
melepas penat sehabis jogging tadi.
Tiba-tiba ada sepasang tangan yang menutup kedua matanya.
Ia segera berdiri dan melepaskan diri dari bekapan tangan itu.
"Digo?" seru Sisi tak percaya.
"Hai cantik!" sapa Digo tersenyum di hadapannya sambil merentangkan tangannya. Sisi segera menghambur ke dalam pelukan Digo.
"Kapan kembali?" tanya Sisi menumpahkan kekangenannya dengan melingkarkan lengannya ke pinggang Digo.
"Semalam," kata Digo mengeratkan pelukannya.
"Kok gak ngabarin sih?" tanya Sisi manja.
"Kan sudah malam, nanti malah ganggu istirahat kamu," Digo tersenyum dan mencium ujung kepala Sisi sekilas.
"Mmm... Kok tau aku disini?"
"Tau dong.... Feeling.... Hehehe.... Nggak... Tadi sempat ke rumah, kata Nayla, kamu lagi jogging di taman. Ya udah aku kesini," kata Digo tersenyum lebar. Kerinduan yang menyiksanya dua minggu terakhir ini terbayar sudah. Ia bisa bertemu gadis mungilnya lagi.
"Yuk pulang," ajak Sisi menggelayut manja di lengan Digo.
Digo melepas pegangan tangan Sisi dan menggantinya dengan merangkul bahunya. Dijajarinya langkah kecil Sisi sambil sesekali melirik ke arah pacar imutnya ini sambil tersenyum bahagia. Seperti biasa, hanya Sisi yang bisa dengan mudah menggantikan perasaan galaunya dengan perasaan bahagia. Mengubah rasa cemasnya menjadi rasa damai.
"Naaah.... Gitu dooong.... Kan seneng liatnya kalo gini," seru Nayla begitu melihat Sisi dan Digo masuk ke rumah. Sudah ada Tristan yang duduk menyilangkan kaki di sofa.
"Emang biasanya kaya gimana, Nay?" tanya Tristan menautkan alis.
"Belakangan ini Sisi banyak galaunya sih," ceplos Nayla yang langsung dicubit oleh Sisi yang sudah berdiri didekatnya.
"Aaaaaww.... Apaan sih lo nyubit nyubit? Sakit tau!" protes Nayla yang dibalas cibiran Sisi.
"Lho emang Sisi galau kenapa?" tanya Digo ikutan menautkan alis seperti Tristan.
"Gak tau tuh. Kangen lo kali," sahut Nayla asal.
"Naaaay..... Bisa gak sih lo gak ember?" teriak Sisi kesal.
"Emang bener kamu kangen aku?" tanya Digo senyum-senyum menatap Sisi yang salah tingkah.
"Enggaaaak..... Biasa aja," sahut Sisi menutupi tersipunya.
"Jujur aja napa Si?" tambah Tristan tertawa.
"Lo juga Tristan! Udah ketularan Nayla ya? Dasar kalian semua rese..." Sisi melepaskan rangkulan Digo dan berdiri menjauh.
Digo mendekat dan menarik lengan Sisi, memeluknya lagi.
"Sini, jangan jauh-jauh kenapa sih? Gak tau aku lagi kangen apa?" gerutu Digo menatap Sisi yang manyun dengan gemas.
Kalau saja tidak ada Nayla dan Tristan pasti Digo akan langsung mencium bibir tipis yang menggemaskan dihadapannya itu.
.......
(Bersambung)
Makin gaje aja nih....

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
FanfictionKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...