"Jadi, kalo aku nerima tawaran Tante Lita, kamu setuju kan?" Sisi menatap Digo serius.
"Sebenernya aku agak keberatan sih... Tapi... Kalo kamu sudah bertekad bulat nerima ya.... Ngapain nanya pendapat aku?" sahut Digo duduk di sebelah Sisi yang menatap siaran televisi di hadapannya tanpa fokus ke sana.
"Tapi keberatan kamu gak masuk akal, Digo."
"Gak masuk akal gimana? Denger ya Sisi Sayang, aku cuma mau yang terbaik buat kita. Terutama buat kamu. Kalo menurut kamu itu yang terbaik buat kamu, aku akan coba buat nerima. Meskipun yaaa... mungkin aku akan selalu was-was sama kamu," kata Digo mengusap wajahnya.
"Kamu tetep gak percaya sama aku ya?" tanya Sisi pelan.
"Aku percaya sama kamu. Tapi aku gak percaya sama cowok-cowok diluar sana yang coba-coba deketin kamu," Digo menatap lurus ke layar televisi, tapi pikirannya entah kemana. Ia mencoba untuk berlapang hati dengan keinginan Sisi mengambil pekerjaan yang ditawarkan oleh Mama Ferro, meskipun dengan berat hati. Tapi, selama Sisi senang, keberatannya bukanlah berarti apa-apa.
"Berarti, kamu tetep gak setuju?" tanya Sisi menegaskan lagi jawabannya.
"Oke... Sekarang gini deh, kalo dari hati kamu sendiri gimana?" Digo mengembalikan pertanyaan itu pada Sisi. Ia sudah pada keputusannya untuk menyerah pada kekerasan hati Sisi, mengalahkan keberatannya, keposesifannya. Ia lelah untuk mempertahankan ketakutannya akan kehilangan Sisi. Mencoba untuk mengerti dan memahami keinginan Sisi. Memberi Sisi kebebasan untuk memilih apa yang diyakininya.
"Aku? Digo, aku nanya sama kamu. Kenapa sekarang kamu jadi balik bertanya sama aku?" Sisi menatap Digo dengan tatapan tidak mengerti.
"Sisi, kamu inginnya seperti apa? Kalo kamu mau ambil kerjaan itu, ambil saja. Gak perlu ragu. Kamu ingin berkarir kan? Kamu ingin punya butik dengan hasil jerih payahmu sendiri kan? Aku gak akan mencampuri itu semua. Aku cuma bisa mendukung kamu sekarang," kata Digo lembut mengelus kepala Sisi penuh rasa sayang.
Sisi tertegun. Ia tidak percaya Digo mengatakan semua itu.
"Jadi, kamu ngedukung aku kalo aku memutuskan menerima tawaran Tante Lita?" tanya Sisi ingin memastikan.
Digo mengangguk tersenyum. Meski hatinya tetap tidak rela. Tapi ia harus bisa menyimpannya rapat-rapat.
"Beneran?" Sisi mengangkat alisnya merasa surprise.
"Iya," kata Digo senang melihat Sisi tertawa dan refleks memeluknya.
"Makasih ya, Honey. I love you," ujar Sisi memberikan senyum termanisnya pada Digo.
.........
Sisi menemui Ferro di cafe Nayla. Digo memberinya ruang dengan meninggalkan Sisi. Digo tau, ia pasti tidak tahan untuk tidak melotot marah melihat keakraban Sisi dan Ferro, karenanya ia memilih untuk ke kantornya meskipun para staff-nya akan menatapnya dengan super heran karena Dirut mereka masuk kantor pada hari libur.
Ferro langsung menghubungi Mamanya begitu Sisi menyanggupi permintaannya, dan Mamanya meminta Ferro untuk segera mengurus semua keperluan pembukaan butik barunya.
Sementara pengurusan butik milik Mama Ferro, Sisi masih tetap bekerja pada Mr Chan hingga butik Tante Lita siap launching.
Kesibukan demi kesibukan dijalani Sisi dengan antusias. Mulai dari pengurusan surat-surat pendirian butik, sampai dengan merenovasi ruangan yang akan dipakai untuk ruang pamer.
Tante Lita menyerahkan semuanya pada Sisi yang dengan senang hati mendekorasi ruangan sehingga terasa hangat dan nyaman untuk pelanggan yang datang berkunjung. Nayla juga sesekali membantunya.
Tidak terasa, dua bulan semua kesibukan itu begitu menyita waktu Sisi. Semua terasa berjalan sempurna bagi Sisi.
Tapi tidak dengan Digo. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya hanya agar ia tidak mengganggu Sisi dengan keposesifannya. Agar Sisi merasa bebas, senang, bahagia dengan apa yang dipilihnya, karirnya, keinginannya, cita-citanya.
Digo lebih memilih melakukan perjalanan bisnisnya ke Jepang, Bangkok, Singapore, Malaysia, Australia, Jerman dan entah kemana lagi. Digo berusaha menekan semua keinginannya untuk dekat-dekat dengan Sisi, demi semua keinginan Sisi.
.........
Hari ini keberangkatan Digo ke Vietnam. Mungkin seminggu sampai sebulan atau bisa juga lebih, ia harus membereskan pengambil alihan salah satu hotel besar di Vietnam. Sengaja ia tidak memberi kabar pada Sisi sama seperti keberangkatannya yang sudah-sudah. Ada yang nyeri di ulu hatinya mengingat Sisi tidak menanyakan keadaannya sedikitpun. Gadis mungil itu terlalu sibuk dengan ambisinya. Gadis itu seolah-olah melupakannya. Dua bulan! Ya, dua bulan sudah Digo hanya melihat Sisi dari kejauhan. Mengawasinya sejenak sepulang kerja. Sekedar memandangnya tanpa mendekat meskipun keinginan itu membelenggunya teramat kuat. Ia takut Sisi kecewa padanya. Ia takut Sisi menjauh darinya. Ia benar-benar takut kehilangan Sisi-nya. Karenanya ia berusaha menahan diri. Berusaha memberi kepercayaan dan kebebasan yang diminta gadis terkasihnya.
Digo menghela nafas panjang. Dilihatnya layar di ponselnya. Ada fotonya bersama Sisi sedang tertawa bahagia. Rasa sakit itu menghimpit dadanya. Digo kembali menarik nafas panjang. Berapa lama lagi kesabaran ini mampu ia genggam?
(Bersambung)
Duh... Berasa pengen jedotin kepala ke tembok! Gak dapet banget feel nya. Huaaaa....
![](https://img.wattpad.com/cover/26818570-288-k869225.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
FanfictionKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...