Part 57

6.9K 372 3
                                    

Digo menyandarkan punggungnya ke kursi kerjanya. Dipejamkannya matanya. Ini hari ke tiga Sisi berada di Bangkok, dan ia sudah merasa kehilangan. Apapun yang dikerjakannya tidak ada yang benar. Konsentrasinya buyar. Kertas-kertas kerja dan file-file di mejanya menumpuk. Rasanya tidak ada satupun yang bisa ia kerjakan hari ini.

Digo meraih jas yang tersampir di kursinya, lalu melangkah keluar kantor setelah meninggalkan pesan pada sekretarisnya untuk mengirim berkas ke rumah. Ia butuh menenangkan diri sekarang.

Digo melangkah keluar dari lift sambil menekan sebuah nomor di ponselnya. Beberapa saat ditempelkannya ponsel ke telinganya, tidak diangkat. Dicobanya sekali lagi, tetap nada dan jawaban operator yang sama.

Digo berjalan menuju mobilnya sambil mengacak-acak rambutnya. Dengan gontai ia masuk ke mobilnya dan menginjak pedal gasnya dan melarikan mobilnya melebihi batas kecepatan yang ditentukan.

...........

Cafe itu terasa lengang. Digo duduk sendiri di meja pojok ketika seorang gadis dengan rambut ikal sebahu masuk ke cafe dan mengedarkan pandangannya. Gadis itu melambaikan tangan pada seseorang yang sudah menunggunya di meja dekat tempat Digo menghabiskan tenderloin steak nya.

Gadis itu melenggang menuju ke arah temannya menunggu. Tiba-tiba gadis itu memekik kecil ketika akan duduk dihadapan temannya saat melihat Digo.

"Digo?" serunya memberi isyarat pada temannya untuk menunggu dan menghampiri Digo di mejanya.

Digo mendongak menatap gadis itu.

"Lo masih inget gue kan?" gadis itu bertanya pada Digo dan langsung duduk di depannya.

Digo mengernyit mengingat-ingat siapa gadis yang ada dihadapannya.

"Jangan bilang lo lupa sama gue," kata gadis itu manyun.

"Sorry... Gue beneran lupa," Digo tersenyum minta maaf.

"Gue Irene.... Yang bawain cincin pertunangan lo. Inget?" tanya gadis itu terlihat kesal karena Digo sama sekali tidak menganggapnya.

"Oh.... Iya... Gue baru keingetan sekarang... Nama kamu.... I... Irene ya?" jawab Digo mengingat betapa ia tak mau melihat sama sekali pada gadis itu karena disangkanya gadis itu yang akan dijodohkan dengannya.

"Iya.... Akhirnya lo inget."

"Tapi... Lo sebenernya siapa sih? Kenapa lo ada di pertunangan gue?"

"Gue Irene. Gue sepupu Keiko. Gue diajak ke pertunangan lo sama Keiko. Dan... Gue diminta untuk bawain cincin pertunangan lo," kata Irene memperkenalkan dirinya lebih detail.

Digo mengangguk-angguk, lalu bangkit berdiri setelah meninggalkan selembar uang ratusan di mejanya.

"Oke... Gue cabut dulu, have fun ya..." Digo tersenyum sekilas dan beranjak meninggalkan Irene yang mengernyit menerima perlakuan cuek Digo.

..........

Suasana bandara di terminal kedatangan luar negeri cukup padat. Digo berdiri setelah mendengar pesawat dari Bangkok sudah mendarat. Ia berbaur dengan para penjemput yang sudah berjubel si pintu keluar.

Digo merasa tegang. Hari ini Sisi kembali dari Bangkok. Ia tidak sabar lagi untuk menjumpai Sisi-nya. Rasa kangennya sudah tak terbendung. Semua ritme hidupnya kacau tanpa Sisi.

Digo melihat dari kejauhan Sisi berjalan bersama Fanny dibelakang Mr Chan, sedang menyeret tas trolley nya.

Digo berjalan mendekat ke pintu keluar penumpang, melepas kacamata hitamnya yang sejak tadi belum dilepasnya.

Sisi melihat Digo dan tersenyum lebar. Ingin rasanya ia mendorong Mr Chan yang berjalan santai di depannya agar lebih cepat.

"Hai," sapa Digo tersenyum menatap Sisi yang kini sudah berada didekatnya.

"Haaaaa.... Mr Digo.... Thank you for allowing Miss Sisi come with me..." Mr Chan menyalami Digo dengan hebohnya.

Digo yang hendak memeluk Sisi terpaksa menerima jabat tangan Mr Chan.

"It's okey," senyum Digo seadanya.

"Okey then.... We excuse to go home first," sambung Mr Chan lalu melambaikan tangannya pada Fanny untuk mengikutinya.

Sisi tersenyum geli melihat raut wajah Digo yang kesal melihat polah Mr Chan.

"Nah... Sekarang tinggal kita..." Digo meraih jemari Sisi dan menggandengnya berjalan menuju mobilnya, sementara sebelah tangannya membawa tas trolley Sisi.

Sejenak kemudian Digo sudah melajukan mobilnya di jalan raya dan berhenti di sebuah resto yang terletak di pinggiran kota.

Digo membimbing Sisi masuk ke dalam resto dan mengambil meja di dekat jendela.

Pesanan mereka datang, dan merekapun mulai menyantap hidangan yang sudah tersaji dihadapan mereka.

"Hai Digo, kita ketemu lagi," sapa seseorang membuat Digo dan Sisi menoleh ke arah suara itu.

"Eh...lo Irene kan? Yang kemaren?" tanya Digo membalas sapaan gadis berambut ikal itu.

"Hahaha... Akhirnya lo inget gue. Tapi apa emang harus gitu ya? Kenalannya secara personal biar lo inget nama gue?" tanya Irene tertawa kecil.

"Sorry kalo gue gak inget lo kemaren. Gue kan gak tau kalo lo sodaraan sama Keiko," jawab Digo minta maaf.

"Iya gak pa pa. Lupain aja," Irene mengibaskan tangannya diikuti gerakan kepala yang membuat rambut ikalnya bergoyang.

"Kok sendirian?" tanya Digo basa basi.

"Ooh.... Gak kok... Lagi nunggu temen," Irene memamerkan sebaris giginya yang berjajar rapi.

Sisi yang hanya mendengarkan sedari tadi hanya menghela nafas panjang. Rasa kesal karena Digo lebih memperhatikan gadis itu dari padanya. Sesekali ia melirik ke arah gadis cantik yang begitu antusias ngobrol dengan Digo. Sementara Digo menanggapi obrolan mereka dengan santai.

Sisi menyorongkan piringnya ke tengah meja. Nafsu makannya menguap. Diambilnya ponsel dari dalam tas nya dan membuka sebuah aplikasi dan mulai konsentrasi ke sana.

Digo melirik sejenak Sisi yang larut dengan ponselnya. Lalu menjawab pertanyaan basa basi Irene lagi dengan menahan diri agar wajahnya tidak menampakkan kebosanan.

Sisi melirik sebal pada Digo yang masih juga ngobrol dengan Irene yang menggebu mendominasi pembicaraan. Ia bangkit berdiri sehingga Digo refleks menoleh ke arahnya.

"Maaf, aku ke toilet dulu," pamit Sisi menyambar tas nya dan berjalan menuju toilet sebelum Digo sempat menjawabnya.

Tapi Sisi bukannya ke toilet, melainkan keluar melalui pintu samping menuju ke parkiran. Lalu ia mengetikkan pesan melalui bbm.

Kalo masih lama, aku pulang naik taksi aja!!!

Digo yang merasakan getaran di sakunya segera meraba dan mengambil ponselnya. Matanya melotot membaca pesan singkat itu.

Ia segera berdiri dan membayar ke kasir, lalu menyusul Sisi tanpa mempedulikan Irene yang melongo karena polah Digo yang aneh.

Di luar, Digo melihat Sisi sudah melangkah ke pinggir jalan sedang celingukan menunggu taksi yang lewat.

Digo segera berlari ke arah Sisi berdiri dan memegang tangannya.

"Kamu kenapa sih?" tanya Digo bingung.

"Gak kenapa-napa. Kalo masih suka disini gak pa pa. Aku bisa pulang sendiri kok," sahut Sisi ketus. Matanya tajam menatap Digo.

(Bersambung)

Sebuah Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang