Digo baru saja masuk keruangannya ketika sekretarisnya mengatakan bahwa Papa nya menelpon, dan memintanya untuk menghubunginya kembali.
Digo segera menghubungi Papa nya.
Digo. : "Ada apa, Pa?"Papa : " Minggu depan Papa ke Bangkok, langsung ke Singapore. Jadi kamu harus bisa ajak pacar kamu untuk ketemu kami di Singapore nanti."
Digo : "Digo usahain, Pa. Tapi Digo gak janji, ya."
Papa : "Kamu sendiri yang minta kami untuk mempertimbangkan pacar kamu itu. Gimana sih kamu?"
Digo : "Iya Pa, Digo kan harus kasih tau Sisi dulu, bisa gak di ikut ke Singapore."
Papa : " Masa hari Sabtu-Minggu juga gak bisa sih?"
Digo : "Makanya Digo bilang akan Digo usahain. Pasti Digo usahain, Pa."
Papa : " Ya sudah. Papa tunggu kabar dari kamu."
Digo : "Baik Pa...."
Digo menghela nafas. Ia hanya bisa berharap Sisi mau ikut dengannya menemui orang tuanya, dan berharap orang tuanya mau menerima Sisi apa adanya sebagai pilihan hatinya.
........
Sisi keluar dari lift dan berjalan menuju mobil Digo yang terparkir di parkir depan butik ketika sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya.
"Hallo Sisi manis, kangen deh sama kamu," seru seseorang yang keluar dari mobil itu.
"Pak Roni?" seru Sisi terlonjak kaget dan refleks mundur menjauhi Roni yang bergegas menghampiri dan menarik tangannya.
Digo yang berdiri bersandar di pintu mobil mendengar teriakan Sisi langsung berlari mendekat dan dilihatnya Roni menarik-narik tangan Sisi menuju ke mobilnya.
"Lepasin!" seru Digo setelah didekat Sisi dan berusaha melepaskan lengan Sisi tang dipegang oleh Roni.
"Heh, suka suka gue mau ajak Sisi kemana! Emang lo siapanya Sisi?" tanya Roni membentak Digo.
"Gue cowoknya! Kenapa? Gak suka?" tanya Digo garang menatap Roni dengan pandangan menusuk.
"Sok ngaku-ngaku lo," cibir Roni.
"Gak percaya? Lo tanya sendiri sama Sisi," tantang Digo. Matanya tajam mengawasi Roni.
"Si, bilang sama aku, kamu bukan cewek dia kan?" tanya Roni menatap Sisi gugup. Pegangan tangannya mengendur.
Digo tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia segera menarik Sisi dan menendang uluu hati Roni hingga Roni berteriak kesakitan.
Sisi yang ketakutan segera berlari dan berlindung di belakang punggung Digo.
"Jangan sekali-sekali lo ganggu Sisi, atau lo tau akibatnya!" seru Digo dengan kemarahan yang meluap.
Roni yang bertubuh lebih kerempeng dari Digo itu hanya meringis kesakitan.
Digo mengajak Sisi masuk ke mobilnya. Wajah Digo merah karena menahan amarah yang masih berkobar di dadanya. Dilarikannya mobilnya berlalu meninggalkan Roni yang masih menahan nyeri.
"Kamu gak pa pa kan?" tanya Digo melihat Sisi.
Sisi menggeleng masih merasa ngeri dengan kenekatan yang dilakukan Roni padanya.
"Mulai sekarang, kamu gak boleh pulang sendiri. Tunggu aku jemput, oke?" kata Digo lagi gak bisa dibantah.
"Dia itu orang gila! Kamu kalo liat dia buruan ngumpet! Kamu juga sih, dikasih tau masih nekat baik-baik sama dia. Dia itu gak bisa dibaikin. Bisa ngelunjak!" omel Digo panjang lebar.
Sisi mengerutkan dahinya memandang Digo. Perasaan kok jadi dia yang diomelin? Dasar Digo!
"Kok kamu jadi marah-marah sama aku sih?" Sisi cemberut.
"Yaaa... Bukannya marah-marah sama kamu, tapi aku khawatir aja. Itu orang gila pengen banget ngajakin kamu pergi," kata Digo membela diri.
"Masa sih kamu khawatir sama aku? Sumpah demi apa?" tanya Sisi mulai jahil.
"Bener aku khawatir sama kamu, sumpah demi kita berdua," ucap Digo sadar Sisi sedang menggodanya.
"Masa?"
Digo mencubit pipi chubby Sisi sampai Sisi berteriak kesakitan. Dan Digo mengubah cubitannya menjadi usapan lembut.
........
Digo menggandeng Sisi menyusuri taman di dekat rumah Sisi, tempat Sisi biasa jogging jika hari libur.
Lalu Digo mengajak nya duduk di bangku yang terbuat dari beton itu.
"Si, masih ingat gak waktu aku bilang kalo aku pengen kita tunangan, lalu nikah?" tanya Digo menggenggam jemari Sisi erat.
Sisi mengangguk.
"Dan kamu pasti masih ingat kan apa jawaban aku saat itu?" Sisi balik bertanya menatap Digo sekilas sebelum menundukkan kepalanya.
"Very clearly!" sahut Digo mengangguk.
"Lalu kenapa kamu menanyakannya lagi?" Sisi menatap Digo tidak mengerti.
"Karena aku tidak mau berhenti di sini. Aku tidak ingin kamu.... kita.... takut dengan bayangan kita sendiri. Kita harus menghadapi apapun yang akan terjadi nanti. Kita belum tau apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku mau kita berjalan seiring, saling bergandeng tangan melewati segala persoalan bersama-sama."
Sisi mengerjapkan matanya memandang Digo, seolah mencari kebenaran bahwa kata-kata itu keluar dari mulut Digo.
"Maksud kamu?" tanya Sisi lirih, takut jika ia salah mendengar.
"Aku mau kita berangkat ke Singapore minggu depan untuk bertemu orang tuaku," kata Digo mantap.
Sisi membelalakkan matanya. Bertemu kedua orang tua Digo?
"Iya, kita akan menemui Mama Papa aku disana," Digo seperti bisa membaca pikiran Sisi.
"Secepat itu?" tanya Sisi panik.
"Sisi sayang, cepat atau lambat, kamu harus ketemu sama mereka. Kamu gak perlu takut. Ada aku yang akan selalu didekat kamu. Aku akan selalu ada buat kamu," janji Digo sungguh-sungguh.
"Tapi, kalau kedua orang tua kamu akhirnya gak setuju dengan hubungan kita gimana?"
"Kita akan hadapi sama-sama. Aku gak akan pernah ninggalin kamu, Si."
"Harus ya?" Sisi merasakan ketakutannya muncul di permukaan.
Digo mengusap rambut Sisi lembut. Mencoba menenangkan kepanikan Sisi dan meredakan ketakutannya.
Menutupi perasaannya sendiri yang juga mengalami hal yang sama.
.......
(Bersambung)
Kira-kira ortunya Digo setuju gak ya?
![](https://img.wattpad.com/cover/26818570-288-k869225.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
FanfictionKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...