Sisi, Nayla dan Tristan berjalan terburu-buru ke teras depan bandara. Mereka setengah berlari menuju tempat Mama Digo menunggu. Waktu mereka tidak banyak. Tiga jam lagi Mama Digo harus kembali ke Singapore. Ia ke Indonesia tanpa sepengetahuan anak semata wayangnya. Wanita setengah baya yang masih terlihat cantik, modis dan anggun itu ingin berbicara dengan Sisi tanpa Digo tau. Dan Sisi berani taruhan, saat ini Digo pasti sedang uring-uringan karena delapan belas panggilan tertera di ponselnya tanpa dijawab Sisi.
Sisi tidak berani menjawab panggilan itu karena ia tidak tau alasan apa untuk menolak Digo jika ia berniat mengajak Sisi menghabiskan week end bersama seperti biasa, sementara ia harus bertemu Mama cowok itu.
Mata Sisi mencari-cari keberadaan Mama Digo di tempat yang sudah dijanjikan.
Seorang wanita cantik dengan dandanan natural namun tetap terlihat cantik, gaunnya berwarna hijau tosca dengan panjang sedikit di bawah lutut menambah keanggunannya sedang duduk sendiri di sudut cafe mewah di depan pintu masuk keberangkatan luar negeri bandara. Sisi segera mengenalinya dan bergegas menuju ke tempat wanita itu duduk sementara Tristan dan Nayla mengikuti dari belakang.
"Maaf Tante, sudah lama menunggu?" tanya Sisi sopan begitu ia sampai dihadapan Mama Digo.
Wanita cantik itu tersenyum sumringah menatap Sisi, mencium kedua pipinya, kemudian menatap Tristan dan Nayla dengan dahi berkerut.
"Oh... Perkenalkan mereka Nayla kakak sepupu saya, dan Tristan tunangannya," jelas Sisi memperkenalkan Nayla dan Tristan pada Mama Digo.
Mereka saling berjabat tangan dan Mama Digo mempersilakan mereka duduk.
"Maaf Tante kalau saya mengajak sepupu saya," ucap Sisi pelan.
"Tidak apa-apa. Begini Sisi, sepuluh hari lagi Digo berulang tahun. Tante mau kasih surprise buat Digo. Apa kamu bersedia?"
"Surprise apa maksud Tante?" Sisi tidak mengerti.
"Kamu sayang sama Digo kan? Kamu beneran cinta sama anak tante kan?"
Sisi mengangguk kecil, ia masih tidak mengerti arah pembicaraan Mama Digo.
"Tante mau kasih surprise dengan pertunangan kalian!"
Sisi membulatkan matanya sementara Nayla dan Tristan saling pandang.
"Maksud Tante.... Mmm.... Maksud Tante, saya dan Digo... Mmm..." Sisi tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Mama Digo mengangguk mantap.
"Iya Sisi. Gimana? Kamu mau kan?"
Sisi masih tak percaya menatap wanita ayu di depannya tanpa kedip.
"Si," Nayla menyenggol lengan Sisi yang duduk di seberangnya.
"Ah... Mmm.... Kenapa tiba-tiba Tante punya ide seperti ini? Maksud saya...," Sisi terlihat gugup. Ini surprise buat Digo, tapi kenapa ia sendiri yang kaget dan merasa surprise?
"Tante suka sama kamu, Si. Digo jadi lebih manusiawi sejak bersama kamu. Dulu dia gak perduli sama sekelilingnya. Gila kerja. Cuek dengan apa yang disebut cewek. Suka semaunya, dan manja. Semua keinginannya harus ia dapat. Tapi sejak bersama kamu, dia berubah. Waktu ia bilang punya pacar, dan minta ijin pada kami agar menyetujui hubungan kalian, kami sempat kaget. Karena gak biasanya Digo seperti itu. Karena itu Om dan Tante sangat ingin ketemu dengan gadis yang bisa membuat Digo berubah. Sekarang Om dan Tante mau kasih hadiah ulang tahun spesial buat anak kami satu-satunya, yaitu pertunangan kalian," sahut Mama Digo tersenyum manis lalu menatap Nayla dan Tristan bergantian.
"Tante boleh minta tolong kalian untuk bantuin Tante mempersiapkan ulang tahun sekalian pertunangan Digo dan Sisi?"
Nayla dan Tristan saling berpandangan kemudian tersenyum pada Mama Digo dan mengangguk berbarengan.
"Baik, sekarang kita bicarakan konsepnya," seru Mama Digo senang.
Mereka berempat membicarakan kelanjutan rencana mereka hingga tak terasa panggilan untuk boarding terdengar. Mama Digo harus kembali ke Singapore. Ia berdiri berjabat tangan dengan Nayla dan Tristan, lalu memeluk Sisi, mencium kedua pipinya dan berbisik, "Mulai sekarang, kamu bisa anggap kami Papa dan Mama kamu juga."
Sisi terperangah. Ia menatap mama Digo terharu. Wanita dihadapannya ini bukan saja cantik wajahnya, tapi juga hatinya. Ia bisa menerima Sisi apa adanya dengan tulus.
Sisi meneteskan airmata, tetapi bibirnya mengulas senyum bahagia.
..........
Sisi mengubah mode silent ponselnya menjadi general tepat ketika ponselnya berdering lagi.
Sisi tersenyum masam. Digo lagi! Tiga puluh tujuh panggilan tak terjawab! Kali ini Sisi menjawab panggilan yang ke tiga puluh delapan itu.
"Halo?"
"Sisi! Kamu dimana? Aku di depan rumah kamu sekarang!"
"Aku ke Villa sama Tristan dan Nayla. Sorry, aku gak sempet bilang ke kamu," sahut Sisi disambut tawa terkikik Nayla dan Tristan.
"Aku susulin kesana! Kenapa kamu gak bilang-bilang sih?"
"Maaf," kata Sisi mendengar gerutuan Digo.
"Harus ada sangsinya! Kamu udah bikin aku panik! Kamu udah bikin aku khawatir! Kamu mau aku jantungan hmm?"
"Ih... Aku kan udah minta maaf."
"Gak cukup ya! Harus ada sangsinya!"
"Harus ya?"
"Udah aku berangkat sekarang. Ke Villa Tristan kan?"
Belum sempat Sisi menjawab, Digo sudah mengakhiri pembicaraannya.
Sisi hanya geleng-geleng kepala, sementara Nayla terkekeh geli karena teriakan Digo terdengar sampai telinganya, sedangkan Tristan hanya tersenyum lebar.
.........
Digo memacu mobilnya menuju Villa Tristan, yang letaknya tidak jauh dari proyek yang sedang ia kerjakan. Hmm... Mungkin Ia bisa sekalian bisa melihat sudah sampai tahap mana proyek itu sekarang.
Tapi yang terpenting adalah bertemu Sisi terlebih dahulu. Akhir-akhir ini ia merasakan ada yang aneh dari Sisi. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pikiran Sisi. Ada yang ditutup-tutupi. Tapi ia tak bisa memaksa Sisi. Ketakutannya kehilangan Sisi membuatnya lebih memilih untuk tidak memaksa Sisi menceritakan apa yang tidak ingin Sisi ceritakan. Ia teramat sayang pada gadisnya, membuatnya terlihat posesif. Bahkan dengan Galang, sahabatnya sendiri. Ia tau, ia berlebihan. Tapi perasaan itu tidak bisa ditahannya. Juga dengan Ferro, Roni, Stefan dan entah siapa lagi.
Ia tidak ingin ada cowok lain yang dekat dengan Sisi. Ia ingin Sisi hanya miliknya. Hanya mencintainya. Hanya untuknya sendiri.
(Bersambung)
Hemmmm.... Egois amat, Pak?! Hehehe.....

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
FanfictionKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...