Part 45

7.3K 398 2
                                        

Sisi berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan Digo di pundaknya.

"Kamu mau apa?" tanya Sisi lirih.

"Menurut kamu?" desis Digo mendekatkan wajahnya.

"Digo, ini sudah larut malam. Sana kembali ke kamar kamu!" usir Sisi mendorong-dorong dada Digo.

"Ssssssshh.... Bilang dulu apa yang Mama bisikin ke kamu tadi!" desak Digo. Hidungnya sudah menyentuh hidung Sisi.

"Kenapa kamu gak tanya sendiri sama Mama kamu sih?" Sisi makin mengkerut di tempatnya.

"Yang ada di sini kan kamu, kenapa bukan kamu aja yang bilang?"

"Aku gak mau bilang. Udah ah, aku mau tidur!" Sisi berusaha melepaskan diri. Tapi semakin ia memberontak, Digo makin erat memegangnya.

"Suka banget sih bikin orang penasaran?" desis Digo.

"Digoooo.... Lepasin dong.... Aku ngambek nih," rengek Sisi terus bergerak-gerak gelisah.

Digo mundur, berjalan menuju ke sofa dan duduk di sana.

"Ini sudah malem banget loh... Kok kamu gak balik ke kamar? Besok flight jam 11 kan?" tanya Sisi melihat Digo mengganti-ganti channel tv.

"Si, kamu tau gak kalo aku tuh cemas banget nunggu keputusan Mama Papa aku?" tanya Digo masih melihat ke arah televisi.

"Tau kok," angguk Sisi.

"Aku cuma pengen tau apa yang Mama udah bilang ke kamu, itu aja kok," ujar Digo pelan. Matanya melihat ke acara televisi, tapi raut mukanya nampak gelisah.

Sisi tersenyum, lalu duduk disebelah Digo dan menyentuh pundaknya.

"Tadi Papa kamu ngomong apa?"

"Cuma ngomongin pekerjaan. Papa mau aku bisa lebih fokus ke proyek yang sedang aku kerjakan sekarang," jawab Digo.

"Kastil impian kamu?" tebak Sisi tersenyum.

Digo mengangguk.

Sisi menyandarkan kepalanya di bahu Digo, dan Digo segera melingkarkan lengannya memeluk Sisi, mencium pucuk kepalanya sekilas.

"Si, kamu tadi ngobrol apa sih sama Mama?" tanya Digo dengan suara rendah.

"Hehehe... Sejak kapan kamu jadi kepo kaya Nayla gini?" tanya Sisi tertawa.

"Sejak kamu mengkhawatirkan perbedaan kita," Digo menatap Sisi yang sekarang mengangkat wajahnya memandang Digo lekat.

"Aku mengkhawatirkan perbedaan kita itu wajar, kali... Aku gak mau kamu jadi anak durhaka! Ntar kalo kamu durhaka dan di kutuk jadi batu sama Mama kamu, terus yang sayang sama aku siapa dong?" tanya Sisi menahan senyum, melirik Digo.

"Kamu ya, situasi kaya gini malah bawa-bawa cerita malin kundang," mau tidak mau Digo tersenyum geli mendengar ucapan Sisi.

"Biar kamu gak galau, Digo. Kalo kebanyakan galau ntar cepet tua loh," ledek Sisi mencibir.

"Eh... Berani ngeledek ya!" Digo mencubit hidung Sisi hingga Sisi berteriak kesakitan.

Sisi menepis tangan Digo dan mengusap hidungnya. Digo tersenyum melihat Sisi yang menatapnya sambil manyun.

Digo mengusap rambut halus Sisi pelan, lalu mulai mendekatkan wajahnya mendekat ke wajah Sisi.

Sisi berkedip sekali, dua kali... Dan Digo menutup mata Sisi dengan kecupan hangatnya. Kecupan itu berpindah ke bibir Sisi, mencium bibir tipis itu dengan lembut dan berlama-lama hingga Sisi merasa tubuhnya terasa ringan. Ia merasa melayang ke langit ke tujuh.

Tangan Digo mengelus punggung Sisi dan semakin mengeratkan pelukannya. Perlahan tanpa sadar Sisi mengalungkan lengannya ke leher Digo, dan membalas ciuman hangat itu, yang membuat Digo semakin berhasrat.

Sisi tidak mengerti bagaimana sebuah ciuman bisa sedemikian memabukkan. Dan Digo dengan mudah selalu bisa membuatnya melayang setiap kali menciumnya. Yang Sisi tau saat ini hanyalah dia dan Digo saling mencintai.

Digo semakin mengeratkan pelukannya, memperdalam ciumannya. Dilepaskannya bibir Sisi lalu berpindah dengan mencium dan menggigit kecil telinga Sisi sehingga membuat gadisnya menggelinjang kegelian. Disusurinya rahang dan dagu Sisi dengan kecupannya, turun ke leher dan memberikan sedikit hisapan di pangkal leher.

Nafas Digo terdengar menderu. Berkali-kali dia mendesiskan nama Sisi.

Pelan-pelan kesadaran Sisi pulih, meskipun enggan, perlahan Sisi menarik dirinya dari dekapan Digo dengan mendorong dada bidang itu lembut.

Digo menurut. Sedikit menjauh dari Sisi. Matanya menatap Sisi yang menunduk. Perlahan direngkuhnya tubuh mungil itu, menyandarkan kepala Sisi di dadanya. Memejamkan mata, merasakan kebersamaan yang tidak ingin mereka urai.

........

Kedua orang tua Digo mengantar Sisi dan Digo hingga di bandara Changi untuk bertolak kembali ke Indonesia.

Digo memeluk kedua orang tuanya bergantian.

Sisi memandang haru perpisahan itu.

"Hati-hati, Digo," ucap Mama Digo menepuk pundak anak tunggalnya.

"Ma,Pa, Digo masih belum tenang kalo Digo belum tau keputusan Papa dan Mama," kata Digo menunduk.

"Harusnya kamu fokus sama proyek kamu dulu Digo." sahut Papa Digo.

'Tapi Pa," Digo berusaha mendesak.

"Digo, toh Sisi juga masih ingin mewujudkan cita-citanya kan?" sahut Mama Digo tersenyum.

"Digo cuma mau persetujuan Mama Papa aja kok, Ma. Biar Sisi gak merasa ragu buat ngejalanin hubungan ini," kata Digo menatap Sisi, lalu kedua orang tuanya.

Mama Digo menatap suaminya penuh arti, lalu mengangguk kecil, lalu melihat ke arah Sisi, yang tersenyum pengertian.

"Digo, pada dasarnya, Mama Papa tidak keberatan. Kami berdua hanya ingin kebahagiaan kamu, sayang. Jadi kamu gak perlu terlalu khawatir, kamu bisa kembali ke Indonesia dengan tenang. Tapi untuk tunangan, sebaiknya kamu berpikir ulang. Kamu bicarakan lagi sama Sisi," jelas Mama Digo tersenyum mengusap lengan anak semata wayangnya dengan sayang.

"Jadi Mama Papa setuju Digo sama Sisi?" tanya Digo memastikan.

"Selama kamu bisa membuktikan ke kami kalau Sisi bisa membuat kamu jadi lebih baik dalam segala hal." angguk Papa Digo.

Digo tersenyum sumringah memeluk kedua orang tuanya bersamaan. Sisi yang melihat kejadian itu tersenyum haru. Ia berharap suatu hari nanti bisa merasakan kebahagiaan seperti apa yang dilihatnya sekarang.

.........

(Bersambung)

Sebuah Cerita CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang