Sisi memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Pikirannya dipenuhi oleh kebimbangan, kepanikan, dan ketakutan.
Seandainya saja ia tidak mencintai Digo, ia tidak akan mengalami semua ini. Tapi cinta itu tidak dapat ditolak datangnya. Karena bukan kita yang memilih cinta, melainkan cinta yang memilih kita.
"Jam berapa besok flight-nya, Si?" tanya Nayla yang sejak tadi membantunya menyiapkan apa saja yang akan dibawanya besok.
"Jam delapan pagi Nay. Tapi gue bener-bener gugup. Gimana gue besok ngadepin mereka?" Sisi menceracau dengan paniknya.
"Si, lo harus bisa tenang. Mereka itu juga manusia biasa. Sama kaya kita. Darah mereka juga merah sama seperti kita. Cuma beda di materi aja mereka lebih beruntung dari kita. Lo gak perlu merasa lebih rendah karena sebenarnya kita semua itu sama," kata Nayla berusaha membuat Sisi lebih santai dan membuang kecemasannya yang berlebihan.
Sisi menarik nafas panjang beberapa kali. Diperiksanya lagi bawaannya sebelum mengunci kopernya. Sisi benar-benar harus menyiapkan hatinya saat pertemuan dengan kedua orang tua Digo, apapun hasilnya nanti meskipun yang terburuk sekalipun.
.........
Sisi dan Digo berjalan menyusuri lorong hotel menuju penthouse tempat orang tuanya menginap. Setelah check in di hotel yang sama, keduanya langsung berniat menemui kedua orang tua Digo.
Sisi menggenggam jemari Digo erat. Seolah mencari kekuatan disana.
Digo tau beban psikis yang dipikul oleh Sisi, dibalasnya genggaman tangan mungil itu, mencoba menyalurkan rasa nyaman untuk gadis kesayangannya.
Digo memencet bel dan tak lama kemudian pintu dibuka. Digo melangkah masuk sambil tetap menggenggam tangan Sisi yang mulai basah berkeringat.
"Siang, Ma, Pa. Ini Sisi, yang pernah aku ceritain sama Mama Papa," Digo langsung mengenalkan Sisi pada orang tuanya.
"Siang Om, Tante," Sisi menyalami keduanya. Lututnya terasa tak bertulang. Ingin rasanya ia menghilang dari tempat itu.
Mama Papa Digo balas menyalami dan tersenyum.
"Ayo duduk," Mama Digo mempersilakan Sisi duduk di sofa tempat Papa Digo duduk sambil menonton televisi.
Digo menuntun Sisi dan duduk disampingnya. Ia ingin Sisi merasa bahwa ia akan selalu siap melindunginya dari apapun.
"Siapa namamu?" tanya Papa Digo dengan suara beratnya.
"Sisi, Om. Sisi Latuconsina," Sisi memperkenalkan dirinya menjawab Papa Digo.
"Kata Digo kamu tinggal dengan sepupu kamu, dan kalian berdua sudah yatim piatu? Benar?" tanya Papa Digo lagi.
"Bener Om," angguk Sisi tegang. Ia serasa di interogasi sekarang.
"Dan kamu bekerja pada seorang designer, sementara kamu punya sebuah cafe?"
"Benar saya bekerja sebagai asisten pada seorang designer. Tapi soal cafe, maaf, itu peninggalan orang tua sepupu saya. Jadi cafe itu milik sepupu saya," Sisi meralat kata kata Papa Digo sopan.
"Kenapa kamu mencintai anak saya?" tanya Papa Digo lagi. Kali ini menatap Sisi tajam, mencari kejujuran dari mata Sisi.
"Saya.... Saya....saya tidak tau kalau mencintai Digo itu harus dengan alasan, Om. Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak punya alasan kenapa saya mencintai Digo." Sisi menunduk. Perasaan tertekan itu makin muncul ke permukaan. Perutnya seperti di aduk-aduk.
"Apa kamu tau siapa Digo sebelumnya? Apa pekerjaannya? Dan siapa orang tuanya?" kini Mama Digo yang bertanya.
Sisi hanya menggeleng. Wajahnya terasa panas. Ia dapat merasakan genggaman Digo yang semakin kuat seolah menyuruhnya bertahan dari tekanan-tekanan yang ditujukan padanya saat ini.
"Sisi, semua orang tua menginginkan anaknya hidup bahagia. Tidak ada satu orang tua pun yang menginginkan anaknya sengsara. Kami pun menginginkan Digo mendapatkan yang terbaik. Kamu mengerti?" tanya Mama Digo menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
"Saya sangat mengerti, Tante," sahut Sisi pelan.
"Sebaiknya kalian berdua istirahat dulu. Nanti makan malam kami tunggu di resto hotel. Kami masih ada pertemuan dengan relasi siang ini," Papa Digo berdiri diikuti Digo dan Sisi.
Digo dan Sisi berjalan menuju pintu diikuti oleh Mama Digo.
"Kalian pulang kapan?" tanya Mama Digo.
"Besok, Ma. Jam sebelas siang. Karena Senin Sisi harus masuk kerja," jawab Digo.
Mamanya mengangguk tersenyum. Sisi sempat pamit sebelum Digo menariknya menuju lift.
......
Digo mengantarkan Sisi ke kamar yang terletak persis di sebelah kamarnya sendiri.
"Kok diem aja dari tadi?" tanya Digo melihat Sisi duduk di sofa panjang dekat jendela.
"Digo, aku mau kamu janji satu hal sama aku," Sisi menatap lekat manik mata Digo yang hitam kecoklatan.
"Apa?" Digo duduk di sebelah Sisi.
"Seandainya Mama Papa kamu tidak setuju dengan hubungan kita, aku mau kita berpisah secara baik-baik," ucap Sisi menunduk dengan suara bergetar.
"Nggak!! Aku gak mau kita pisah! Jangan sekali-sekali kamu bilang kaya gitu lagi. Aku gak bisa jauh dari kamu!" Digo menggeleng lemah. Permintaan yang sangat sulit dan tidak akan pernah bisa dilakukannya.
"Ini hanya seandainya, Digo. Semua kemungkinan itu bisa terjadi," Sisi melirik Digo dengan gelisah yang tidak bisa disembunyikan.
"Dengar Sisi sayang, seandainya kemungkinan terburuk itu terjadi, aku gak akan pernah ninggalin kamu. Gak akan pernah!" Digo memeluk Sisi dengan erat.
"Tapi kamu gak boleh egois. Mereka orang tua kamu. Mereka mau yang terbaik buat kamu," Sisi menatap mata Digo seakan ingin menembus masuk ke relung hatinya.
"Sisi, kita belum tau apa mereka menyetujui hubungan kita atau tidak. Jadi kita gak usah berpikir terlalu jauh, oke sayang?" hibur Digo menangkupkan kedua tangannya di pipi Sisi dan menempelkan dahinya ke dahi Sisi.
"Seandainya aku bisa setenang kamu," bisik Sisi tercekat.
Digo mengeratkan pelukannya sementara hidungnya menyentuh hidung Sisi. Digo merasakan ada cairan hangat yang mengalir menyentuh kulit wajahnya. Dijauhkannya wajah Sisi, dilihatnya Sisi memejamkan matanya, ia tidak terisak, tapi airmata itu terus mengaliri kedua pipinya.
Digo mengusap pelan airmata itu.
Sisi membuka matanya perlahan. Berusaha tersenyum.
"Aku cengeng ya?" bisiknya dengan suara parau menahan isakan.
Digo tersenyum. Tangannya masih sibuk mengeringkan airmata di pipi putih kemerah-merahan itu.
Semuanya memang masih kabur. Namun justru itu yang membuat Sisi merasa tertekan.
.......
(Bersambung)
Sabar ya Sisi.... Semua akan ciee ciee pada waktunya... Wkwkwk.... Ini ide pada lari kemana sih???
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
FanfictionKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...