Restaurant mewah yang berada di pusat kota itu tampak lengang. Hanya beberapa pasangan dan keluarga yang sedang menikmati makan malam di sana.
Sisi, Digo, Nayla dan Tristan duduk di salah satu meja yang sudah dipesan oleh Nayla.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Nayla mulai menceritakan tujuannya mengajak mereka berkumpul di situ.
"Apa aja yang kalian suka, Nay, Si," kata Tristan tersenyum. Tristan selalu memanjakan Nayla. Apapun yang Nayla mau, selama masih bisa diterimanya, akan berusaha diwujudkannya.
"Kalau menurut gue, sebaiknya rumah lo itu dibuat Cafe lagi aja Nay. Cuma dengan konsep yang berbeda, yang lain dari pada yang lain," sahut Digo memberikan pendapatnya.
"Misalnya?" tanya Nayla melirik Sisi yang sedari awal hanya diam mendengarkan.
"Ya, misalnya lo buat konsep sesuai dengan lingkungan lo disana. Rumah lo kan gak jauh dari kampus, nah... Lo bisa buat cafe dengan ukuran kantong mahasiswa, trus disitu bisa lo tambahin apa gitu, kaya jual pernik-pernik anak muda, lo bisa kasih ruangan khusus seperti perpustakaan umum, atau lo bisa bikin seperti pujasera. Jadi pelanggan bisa pilih apa yang mereka mau," kata Digo menarik nafas, bersamaan dengan datangnya pesanan mereka.
Nayla dan Sisi mengangguk-angguk mengerti.
"Honey, kalo untuk mahasiswa, kan didekat kampus sudah banyak tuh cafe atau pujasera. Kalo konsepnya kita buat yang lebih tenang gimana?" kata Sisi menatap Digo yang menautkan alisnya seperti berfikir.
"Boleh juga. Tapi seperti apa?" tanya Digo.
"Mmm.... Sebenernya aku suka ide kamu yang cafe plus perpustakaan itu. Novel terjemahan punya aku kan lumayan banyak tuh..." Sisi tiba-tiba tertawa. Digo menatap Sisi dan tau apa yang membuat Sisi tertawa ikut-ikut tertawa membuat Nayla dan Tristan melihat keduanya dengan heran.
"Ngapain sih pada ketawa?" tanya Tristan.
"Hahaha... Nggak... Cuma keingetan pas pertama kita berdua kenalan... Kan gara-gara buku juga...hahaha..." tawa Digo makin keras.
Tristan dan Nayla yang tau cerita itu jadi ikutan tertawa.
"Ya udah kita makan dulu, setelah itu kita bahas lagi," kata Nayla.
Mereka pun mulai menyantap hidangan yang sudah tersedia, sambil sesekali di selingi obrolan ringan.
Akhirnya Nayla dan Sisi memutuskan menjadikan rumahnya untuk cafe, tapi dengan design yang minimalis.
Disamping bisa untuk nongkrong anak-anak muda juga bisa untuk mereka yang ingin menyalurkan hobby bermain musik, menyanyi, sampai hobby membaca yang akan diberikan ruangan khusus di lantai dua.
Kata Nayla, ia ingin cafe nya nanti bukan semata-mata mencari untung saja, karena sebenarnya lebih ke keinginannya untuk mempunyai usaha bersama Sisi yang sudah ia anggap seperti adik kandung yang tidak pernah ia miliki.
..........
Hari ini Sisi berdandan lebih teliti dari biasanya. Orang tua Digo datang untuk menanyakan kelanjutan hubungannya dengan Digo. Sisi baru dua kali bertemu mereka. Meskipun Mama Digo sering menghubunginya via telfon, tapi rasa gugup itu masih ada.
Suara ketukan pintu membuat Sisi meneliti sekali lagi penampilannya dan bergegas membukakan pintu.
Digo menjemputnya untuk menemui kedua orang tuanya, sekalian mereka dinner karena besok orang tua Digo sudah harus kembali ke Amerika.
Dinner itu berjalan dengan lancar.
"Digo, Sisi, Kami cuma mau menanyakan persiapan pernikahan kalian. Sudah sampai dimana? Jangan terlalu santai. Mama dan Papa sudah pengen punya cucu nih," Papa Digo membuka pembicaraan itu dengan suara beratnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
Hayran KurguKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...