Sisi menghempaskan tubuhnya di sofa ruang fitting. Suara Mr Chan yang melengking-lengking membuat kepalanya pusing. Mana pagi belum sarapan. Tapi salahnya juga sih.... Udah dateng telat, berkas rancangan buat Tokyo Week bulan depan pake keselip lagi. Jadi deh kena omelan seriosa Boss perfeksionis....
Untungnya setelah membongkar dan mengobrak-abrik seluruh laci meja kerja dan filling cabinetnya, akhirnya berkas itu ketemu juga.
Sisi memejamkan matanya. Tubuhnya terasa letih karena tidak tidur semalaman, ditambah kerja ekstra bongkar laci dan filling plus harus mendengar nyanyian penyanyi opera yang suaranya melengking cetar membahana, siapa lagi kalau bukan Mr Chan.
Sisi terbangun ketika Pak Juna membangunkannya.
Sisi melihat jam tangannya, 19.30! WHAT!!!! Sisi melompat dari duduknya, berlari mengambil tas selempangnya. Sekarang lengkap sudah penderitaannya. Ia harus turun memakai tangga! Karena jam 19.00 lift sudah di non aktifkan.
OMG Helllooooowh.... Kalau Pak Juna tidak membangunkannya, Sisi mungkin akan menginap di butik.
Pak Juna mengikuti Sisi dari belakang berusaha mengatakan sesuatu.
"Neng... Pelan-pelan atuh... Nanti kalo Neng Sisi jatuh kan repot," kata security itu mengingatkan.
"Iya Pak... Makasih. Tapi ini sudah kemalaman," seru Sisi panik.
"Hehehe... Tenang aja Neng... Kan ada yang jemput," Pak Juna tertawa kecil.
"Siapa?" tanya Sisi mengerutkan keningnya sambil terus menuruni tangga.
"Lho... Ya Pak Digo kan udah nungguin dari jam empat sore tadi, Neng," beritahu Pak Juna polos.
Sisi menepuk dahinya. OMG.... Masa ia sampe lupa kalo Digo akan menjemputnya? Wah.... kacau!
Setelah olah raga malam dengan menuruni tangga mulai dari lantai empat, dengan nafas ngos-ngosan akhirnya Sisi sampai juga di basement.
Dilihatnya Digo mondar-mandir disamping mobilnya.
"Sisi!" panggil Digo menghampiri Sisi begitu dilihatnya sosok Sisi keluar dari pintu kaca.
"Hai... Sorry... Lama nunggu ya?" senyum Sisi.
"Neng Sisi nya ketiduran di ruang fitting, Pak!" lapor security itu tertawa geli.
"Pak Juna udah deh, sana balik! Ntar pos nya dibawa lari keong lho!" ucap Sisi kesal karena Pak Juna ember memberitahu Digo.
"Eh... Iya Neng.... Tapi... Keong bisa nyolong pos jaga ya Neng?" tanya Pak Juna bloon lalu bergegas kembali ke pos nya.
Sisi berbalik menatap Digo yang sedang melihatnya dengan tatapan cemas.
"Kamu pagi gak sarapan, trus siang pasti gak makan, lalu ketiduran sampe jam segini? Ckckck.... Sekarang ikut aku!" Digo menarik tangan Sisi ke mobilnya.
"Apaan sih? Dari mana kamu tau kalo aku siang gak makan? Sok tau!" cibir Sisi menghalau rasa pusing yang menderanya.
"Ya tau lah... Siang tadi kamu sibuk cari file yang keselip sampe gak bisa makan siang kan?" tebak Digo jitu.
"Kaya dukun aja kamu! Tau dari mana?"
"Tadi Vivien yang bilang pas ketemu makan siang di cafe sebelah," jawab Digo mulai melajukan mobilnya keluar dari basement butik.
Sisi diam saja. Kepalanya masih terasa nyut nyutan.
Digo mempercepat laju mobilnya menuju sebuah resto.
Setelah memarkir mobilnya dan melepas seatbelt nya Digo membuka pintu sambil melihat ke arah Sisi. Dilihatnya Sisi sedang meringis kesakitan memegang kepalanya.
"Si, kamu kenapa?" tanya Digo masuk dan duduk lagi dalam mobil.
"Kepalaku sakit banget. Pusing," jawab Sisi pelan menahan rasa sakit di kepalanya.
Digo segera menyalakan mobilnya kembali dan membawa Sisi ke rumah sakit terdekat.
........
Digo masuk ke kamar tempat Sisi di rawat. Ia sudah menghubungi Nayla.
Digo duduk di sebelah tempat tidur Sisi yang cemberut menatapnya.
"Gak pa pa... Lebih baik kamu marah sama aku daripada nanti kamu sakit lagi kaya gini," senyum Digo mengusap kepala Sisi lembut.
"Tapi aku bisa istirahat di rumah," protes Sisi.
"Kalo di rumah, kamu gak bakalan istirahat," kata Digo tidak bisa dibantah.
"Kamu itu bisa bikin Nayla kuatir. Lagipula, lebih enak istirahat di rumah," omel Sisi yang cuma ditanggapi dengan senyum oleh Digo.
"Oke... Aku nurut, tapi aku mau hp aku," kata Sisi menadahkan tangannya.
"Kamu mau menghubungi siapa? Nanti aku telfonin deh," kata Digo manis.
"Aku mau nelfon sendiri!" sembur Sisi kesal.
Digo mengeluarkan ponsel Sisi dari sakunya dan memberikannya pada Sisi.
Sisi melihat ponselnya. Ada delapan panggilan dari Ferro, dua panggilan dari Tristan, empat panggilan dari Nayla. Sisi geleng-geleng kepala.
"Aku udah hubungi Nayla. Sebentar lagi mungkin nyampe," beritahu Digo.
Sisi diam saja. Ia mengetikkan sesuatu lewat ponselnya, kemudian meletakkannya di meja didekatnya.
Nayla muncul di pintu kamar tempat Sisi dirawat, bergegas mendekati Sisi.
"Sebenernya lo kenapa sih, Si?" tanya Nayla cemas.
"Gak pa pa kok Nay, kata dokter tadi Sisi cuma kecapekan, trus makan gak teratur. Seharian ini aja gak makan," sambar Digo memberitahu Nayla sebelum Sisi menjawab.
"Lo kok gak jaga kesehatan lo sendiri sih, Si? Udah gue bilang kan, lo bisa pake lantai dua cafe kan. Lo sih keras kepala kalo dibilangin," omel Nayla.
"Udah ah Nay, ngapain sih diomongin di sini?" sela Sisi yang gak mau Digo tau.
Digo yang mendengarkan pembicaraan Nayla dan Sisi cuma diam saja.
"Oya Si, tadi Ferro nelpon gue, nanyain lo tuh," beritahu Nayla.
"Iya... Misscall gue sampe delapan kali tuh. Tapi udah gue bbm kok, Nay. Udah gue bilangin gue gak pa pa."
Tak lama kemudian Tristan datang menjemput Nayla karena sudah terlalu malam, sedangkan Digo masih tinggal menemani Sisi.
"Si, aku boleh nanya gak?" tanya Digo setelah Tristan dan Nayla pergi.
"Nanya apaan? Katanya suruh istirahat, ini malah ditanya-tanyain. Tanya apa sih?"
"Apa maksud kata-kata Nayla kalo kamu bisa pakai lantai dua cafe nya?"
"Gak ada. Omongan Nayla aja didengerin," jawab Sisi lalu memejamkan matanya pura-pura tidur.
Ia tidak mau Digo tau. Ia ingin semua mengalir apa adanya, dengan jerih payah usahanya sendiri. Karena itu satu-satunya kebanggaan yang dipunyainya saat ini.
(Bersambung)
Sulit banget dapetin feel nya... Berasa nge flat ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Cinta
Fiksyen PeminatKata orang cinta itu buta, tapi tidak buatku. Karena cinta itu mampu melihat apa yang orang lain tidak melihat. Kata orang cinta itu tidak harus memiliki, tapi tidak bagiku. Karena cinta itu pantang menyerah untuk menyatukan perbedaan. Dan.... Kata...