Sebaik apa pun kamu, jika mereka tidak suka, tetap saja hanya satu sisi yang dilihat.
***
🥀-Happy Reading-🥀Maudy buru-buru keluar dari rumah, senyuman manis terukir sempurna. Pagi tadi ia mendapat pesan dari Rasta, entah ada apa gerangan cowok itu mengajaknya untuk pergi. Saat ditanya tujuan, namun tidak juga ada balasan. Maudy tidak memikirkan hal itu, karena yang terpenting bisa pergi bersama Rasta.
Air mukanya seketika berubah masam. Di depan gerbang rumah Rasta terdapat sekumpulan anggota Alaster, tapi bukan itu penyebabnya. Kehadiran Diva di tengah-tengah mereka yang membuat Maudy merasa enggan untuk mendekat dan kesal. Maudy memutar tubuhnya, memilih masuk lagi ke dalam rumah.
"MAUDY!"
Panggilan itu sontak menggagalkan niatnya. Maudy menoleh, tersenyum canggung. Terpaksa Maudy menghampiri mereka dengan langkah lamban, tangannya semakin erat memegang tali sling bag, berusaha menghindari tatapan tajam Diva yang ditujukan padanya.
"Kenapa tadi mau masuk lagi, Dy?" tanya Arka heran.
"O-oh itu, ada yang ketinggalan, tapi nggak penting juga." Maudy beralibi, padahal bukan itu alasannya.
Dari dalam rumah bercat putih, beberapa orang berjalan keluar rumah membawa kardus yang dilakban dengan sangat rapi. Kardus itu sengaja ditaruh berjejer di aspal. Maudy mengernyitkan dahi, tidak mengerti tujuan mereka yang sebenarnya.
"Kita emangnya mau ke mana?" tanya Maudy penasaran.
Dito menoleh, melirik cewek itu sekilas. "Panti asuhan," jawabnya.
Jawaban Dito membuat Maudy tertegun, ada rasa tidak menyangka jika tempat tujuan mereka pergi adalah panti asuhan. Biasanya para remaja akan sibuk dengan urusan masing-masing, untuk mengunjungi tempat seperti itu juga mungkin hanya beberapa dari mereka yang berpikiran.
"Serius?"
"Ya kali gue bercanda. Kayaknya lo nggak percayaan banget sama gue," ungkap Dito dengan nada kekecewaannya.
"Tampang lo meragukan, sih." Jujur Maudy tidak bisa membedakan wajah serius cowok itu.
Dito mendengus, mengusap wajahnya kasar. "Untung gebetannya si maung, kalau bukan udah gue sentil ginjalnya," cibirnya.
"Bercanda kali. Siapa nama lo?"
Pertanyaan dari Maudy tidak hanya membuat Dito terkejut, melainkan semua orang yang berada di sana. Rasanya aneh jika Maudy tidak mengenal nama si biang rusuh dan rajanya drama di sekolah.
"Dih, Zra, masa dia nggak tau nama gue, parah." ucap Dito mengadu pada Ezra—teman sepergilannya.
"Namanya Dito Lavian, panggil aja Toto," jelas Ezra.
"Nggak! You can call me Dito, right?"
Sandi yang duduk di atas motor memutar bola matanya malas, lama-kelamaan ia merasa jengah dengan kelakuan temannya yang satu ini.
"Bosen gue denger dia ngomong pake bahasa Inggris, tapi itu-itu aja." cetus Sandi seraya memijit pangkal hidungnya.
"Sama, njir. Demi menghargai usaha dia, ya udah gue cuma bisa mendukung lewat doa," sahut Arka menyentujui perkataan Sandi barusan.
"Sok alim banget lo, Ar!" Dito berseru, apa pun yang dilakukannya pasti selalu salah di mata temannya.
Maudy tidak mampu menahan tawa melihat tingkah laku mereka. Pandangannya mengedar, tertuju pada cowok berkemeja hijau lumut yang sengaja memperlihatkan kaos putihnya. Tampilannya begitu berbeda, tidak seperti biasanya memakai bandana. Menurut pengamatannya selama ini, satu fakta jika Rasta menyukai warna putih.

KAMU SEDANG MEMBACA
[GS2] OTHER SIDE (Completed)
Novela Juvenil"Rasta!" "Ya?" "Kenapa, Sta?" "___" "Kenapa lo harus peduli sama gue?" "Bukan peduli, tapi kasihan." Rasta Dhefino Greynata, cowok cuek berbandana hitam yang tidak pernah mempedulikan sekitarnya. Perlahan pandangan berubah saat melihat kehidupan cew...