55. JADI, DIA DALANGNYA?

1.3K 193 136
                                    

Kalau cuma sebatas kasihan, seharusnya dari awal jangan pernah memberi harapan.

***
🥀-Happy Reading-🥀

Angin berhembus, menerpa surai hitam kecoklatan hingga bergerak tak beraturan. Maudy yang terduduk di kursi panjang taman itu termenung, novel yang berada dipangkunya belum juga terbaca. Ia tidak bisa fokus, walaupun hanya sejenak.

Novel tertutup, lalu ditaruh di sampingnya. Maudy mengeluarkan earphone dari kantong roknya, memasangkan di kedua telinganya. Lantunan lagu mengalun indah, membuat pikirannya bisa lebih relaks. Maudy bersidekap, menengadah menatap lurus langit biru dengan sorot kosong.

"Kak Maudy,"

Sontak Maudy menoleh, tidak jauh darinya cewek berkacamata melambaikan tangan dengan senyuman canggung. Maudy mengerjap, mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia hanya diam, tidak berniat untuk membalas sapaan yang jelas-jelas ditujukan padanya.

"Boleh duduk?" tanya Alika meminta persetujuan. "Ada yang mau aku omongin, Kak." lanjutnya.

"Apa?" Maudy melepaskan earphone yang dikenakan, lalu menaruhnya di saku seragam.

Alika tertunduk, memilin ujung roknya. "Aku mau jujur tentang sesuatu, tapi aku mohon jangan bilang siapapun," ucapnya memelas.

"Iya, to the point." balas Maudy semakin penasaran.

Sebelum mulai bercerita, Alika menarik nafas serta menghembuskan secara perlahan, ia tidak berani menatap lawan bicaranya. Tanpa diketahui Alika, diam-diam Maudy mengeluarkan handphone, bersiap merekam pembicaraan mereka.

"Soal kasus tentang pembullyan itu, semua cuma rekayasa. Aku dipaksa Kak Sheila buat fitnah Kakak, mereka janji nggak akan pernah bully aku lagi kalau aku mau." ungkap Alika, berhasil membuat Maudy terbelalak mendengarnya.

"Awalnya aku nolak, tapi mereka ngancam bakal siksa aku lebih parah. Aku takut, nggak punya pilihan lain, yang ada dipikiran aku cuma bisa bebas dan terhindar dari mereka."

Hening. Alika memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Cewek berkacamata itu merubah posisi duduknya menjadi menyerong hingga berhadapan dengan kakak kelasnya.

"Akhirnya aku nurut. Maaf Kak, aku emang ada rasa sama Kak Rasta, jadi aku pikir ini juga peluang untuk aku, tapi nyatanya nggak. Jujur, aku merasa tertekan, dan bersalah. Tolong maafin aku Kak," sesal Alika. Tangisnya yang sedaritadi ia tahan akhirnya pecah.

"Lo nggak salah Al, tanpa lo minta maaf, gue selalu maafin." kata Maudy seraya memperlihatkan senyumnya, walaupun ia turut merasakan sesak.

Alika menyeka air matanya yang menetes. "Makasih, Kak. Satu lagi, jangan bilang Kak Sheila kalau aku yang bocorin, aku takut." lirihnya.

"Iya, gue nggak akan bilang," balas Maudy menenangkan adik kelasnya, bahwa setelah ini semua akan baik-baik saja.

"Sekali lagi maaf ya, Kak. Aku nggak tau semua bakal kayak gini,"

Sudut bibir Maudy tertarik, ia menepuk bahu Alika singkat. Cewek itu beranjak dari duduknya, tanpa mengatakan apa-apa ia berjalan menjauhi taman dengan novel yang berada dalam dekapannya.

Maudy berbelok arah, menaiki anak tangga dengan terburu-buru. Tujuannya adalah gedung IPS. Langkah kakinya semakin cepat, matanya tertuju pada pintu kelas yang bertuliskan XI IPS 3. Maudy membuka pintu kelas dengan membantingnya, matanya kian menajam.

Seisi kelas refleks menolehkan kepala. Maudy berjalan menghampiri meja paling depan, di mana Sheila dan dua antek-anteknya itu berkerumun membicarakan sesuatu. Maudy menggebrak meja, membuat mereka terkesiap.

[GS2] OTHER SIDE (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang