7.

97.7K 15.3K 527
                                    

"Makasih ya, bu." Lamera tersenyum. Merasa terbantu dengan sikap Yani, ibu kosnya yang sangat baik. Sudah mau menjemputnya di rumah sakit dan membawakan barang-barangnya.

"Iya, sama-sama. Lami, kalo ada sesuatu kamu bisa bilang ke ibu, ya? Jangan dipendam." Yani mengusap bahu Lamera dengan sorot mata yang hangat. Persis seperti sorot mata ibunya, Arsy.

Sikap hangat Yani membuat Lamera merindukan Arsy. Apa kabar kedua orang tuanya? Apa yang terjadi dengan tubuh aslinya?

"Iya, bu."

Lamera menutup pintu kamarnya. Ia meletakan tas berisi pakaian di lantai. Lalu menghela napas. Hari ini terasa sangat berat. Lebih tepatnya sunyi. Ia merasa tersesat di tempat asing yang tidak dikenalinya. Bahkan ia tidak tahu kamar siapa ini?

Lamera memperhatikan sekeliling kamarnya. Kamar yang rapih. Tempat tidur untuk satu orang, lemari, tv, rak sepatu, meja belajar dan kamar mandi. Tidak ada satu pun bingkai photo di kamar.

"Sebenarnya apa alasan Lami bunuh diri, ya?" Lamera merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tiba-tiba ia merasa ngantuk.

"Rasanya sepi. Apa Lami terbiasa dengan kesepian ini? Gua kangen mami, kangen papi, kangen Calista, kangen Dion." kesadaran Lamera mulai pudar, matanya yang sayu mulai tertutup. "Gua mau pulang." gumamnya.

🍂🍂🍂

"Kaka!"

"Ka!"

"Kak Mira!"

Lamera yang linglung di tengah kegelapan menoleh begitu sadar dirinya dipanggil terus-menerus. Lamera terkejut melihat orang lain selain dirinya di kurungan kegelapan ini. Lebih terkejut lagi karena Lamera mengenal gadis yang ada di depannya.

"Kamu.....Lami?" kening Lamera mengerut. Memastikan kalau ia tidak salah lihat. "Kamu Lami, kan? Aku tau muka kamu. Aku lihat di kaca!" Lamera sangat yakin, tidak salah orang.

"Iya, aku Lami."

Banyak, banyak sekali yang ingin Lamera bicarakan dengan gadis itu. Menanyakan apa yang terjadi, alasannya bunuh diri dan kenapa mereka bisa tertukar. Oleh karenanya Lamera mengajaknya duduk di ruangan yang gelap ini agar bisa mengobrol dengan tenang dan nyaman.

"Jadi.....sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Lamera.

"Kaka hidup kembali menjadi aku. Kehidupan aku akan menjadi milik kaka."

"Terus gimana sama kamu?"

"Kehidupan aku udah berakhir."

"Kok gitu sih?!" Lamera tidak terima. Ia tidak terima jika Lami sampai meninggal dunia dan dirinya yang merebut kehidupan Lami.

"Kaka harus nerima kenyataan. Mulai hari ini kaka akan menjadi Lamera Anindyaswari."

"Tapi aku..." Lamera kehabisan kata-katanya. Takut kalau ia tidak bisa menerim keadaannya yang sekarang.

"Tolong jadi diri aku yang lebih baik dari sebelumnya. Tolong jadi diri aku yang lebih berani dan lebih berguna lagi." suara Lami pelan, terdengar sedih.

"Kamu......kenapa kamu bunuh diri?! Usia kamu masih muda loh!" Lamera mengomeli Lami yang duduk di sampingnya. Tapi Lami justru tertawa lucu.

"Aku udah berusaha sangat sangat keras mencari alasan untuk hidup. Tapi aku gagal. Setiap aku melangkah aku selalu menemukan masalah. Aku tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Justru semakin memperumitnya."

"Kamu nyerah sama kehidupan kamu?"

"Iya. Aku memberikan kehidupan aku ke kaka karena aku yakin kaka bisa bertahan. Maaf ninggalin banyak masalah dan kesulitan pada kaka. Aku benar-benar minta maaf."

"Lami, kamu jangan nyerah! Kalo kamu bingung, kamu capek. Aku akan bantu kamu. Kita akan berkerja sama. Jadi kamu jangan menghilang dan kembali ke tubuh kamu."

"Aku nggak bisa, kak. Kalo aku harus memilih. Aku milih kaka yang tetap hidup."

"Kenapa?"

"Aku udah nggak punya tujuan hidup lagi, aku udah nyerah. Jadi aku serahkan hidup aku ke kaka. Aku harap kaka bisa lebih bahagia dari aku. Selamat tinggal." Lami tersenyum lembut. Sorot matanya memancarkan sebuah kesedihan.

🍂🍂🍂

Kedua mata Lamera terbuka lebar, langsung ia duduk di pinggir kasur. Langit sudah malam, ia ketiduran karena lelah. Karena ketiduran ia belum sempat menyalakan lampu, jadilah ia ada di dalam kamar yang sangat gelap. Lamera berdiri. Mencari tombol lampu. Memencet tombol hingga lampu kamar menyala.

Lamera mengelap keringat yang membasahi wajahnya. Tidak, bukan cuma keringat yang ada di wajahnya. Namun juga terdapat air mata yang membasahi pipinya. Dada Lamera terasa sesak.

"Apa mimpi tadi nyata? Gua ketemu Lami." Lamera mencengkram dadanya. "Sesak. Rasanya gua mau nangis." air mata Lamera turun membasahi pipi.

Menangis tersedu-sedu tanpa tahu alasan yang jelas. Mimpi bertemu dengan Lami, melihat senyum Lami di dalam mimpi yang nampak sedih membuat hati Lamera remuk. Lami sudah meninggal, menitipkan hidupnya yang saat ini kepadanya. Dengan senyuman manis Lami mendoakan kebahagiaannya.

Kalau Lami bisa mendoakan kebahagiaan untuknya, kenapa Lami tidak bisa mendoakan hidupnya sendiri agar bahagia?

"Sakit. Dada gua rasanya sakit banget." air mata Lamera semakin tumpah. Perasaan sedih yang datang entah dari mana, seolah-olah Lamera bisa merasakan apa yang selama ini Lami rasakan.

Lamera mencari ponselnya. Buru-buru ia mengetik nomor telepon di layar. Ia harus menelepon ibunya. Ada banyak hal yang harus ia ceritakan pada Arsy.

"Halo, selamat malam dengan kediaman bapak Alex Frankyis. Ada yang bisa dibantu?"

Lamera tersenyum, lega mendengar suara bi Ijah pembantu rumah tangganya. "Halo....aku...." Lamera terdiam sejenak. Tidak mungkin ia mengaku sebagai Lamera Charlotte. Ia juga tidak mungkin bilang ingin bicara dengan Arsy. "Bisa aku bicara dengan Mira? Aku temannya." ini alasan yang paling masuk akal untuk saat ini.

"Non, temannya dari mana, ya?"

Lamera mengerutkan kening. Tidak biasanya bi Ijah banyak tanya seperti ini. "Aku teman SMP-nya." jawab asal Lamera.

Terjadi jeda beberapa saat. Sebelum akhirnya bi Ijah kembali bersuara. "Maaf, non. Tapi....non Mira sudah meninggal dunia 3 tahun yang lalu karena kecelakaan. Non, emang nggak dapat kabar dukanya?"

 Non, emang nggak dapat kabar dukanya?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Back to School (TAMAT dan SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang