Inget Rose, inget Rose. Jongan sentuh sama cewek yang bakal kenalan sama lo, bicaranya juga seadonya aja. Inget Roseanne Wiyana-mu Jahesa!
Acap kali ucapan itu terus terdengar di telinga Ital, hingga membuatnya ingin sekali memukul kepala bodoh sang adik tercinta.
Mereka berdua saat ini tengah berada di sebuah hotel mewah, tempat sang paman merayakan ulang tahun. Sebenarnya tak bisa dibilang ulang tahun juga, mengingat perayaan itu sepertinya hanya berlatar bisnis belaka, yang bahkan Jahesa tak mau mencari kebenarannya.
Sejak tadi mata Jahesa tak henti-hentinya menatap seisi ruangan yang penuh dengan kerabat jauh tak dikenalinya sama sekali. Senyum tipis yang tiba -tiba saja diarahkan kepadanya hanya dibalas anggukan singkat sebagai bentuk sopan santun.
"Nyari siapa sih?"
"Cewek yang mau dijodohin sama aku."
"Katanya gak mau."
Jahesa mengangguk setuju, masih dengan mata yang terus saja berkeliling kemana-mana. "Emang gak mau. Cuman mau lihat tampilannya doang. Kalo gagah yah bisa diajak kenalan lah, biar dijadin temen."
"Yakin nanti kamu dijadin temen doang?"
"Hah?" Masih dipenuhi dengan rasa heran akan ucapan Ital, Jahesa justru mendapati kakaknya sudah berlalu pergi mencari teman ngobrol mengingat adiknya tak pandai dalam berbasa - basi ini - itu.
Jahesa memilh diam saja. Toh tak akan merugikan siapapun juga. Dikeluarkannya ponsel dari saku celana kain hitam itu dan mulai menelusuri internet di dalam sana.
"Permisi, boleh duduk disini?"
"Hmm," jawabnya singkat. Bahkan terkesan tak peduli dengan si gadis yang tengah meminta izin duduk didekatnya.
Jahesa begitu sibuk, entah berbuat apa dengan internet yang merupakan sumber segala informasi.
"Ngapain sih? Sibuk banget."
"Gue main ini-" Baru akan menunjukkan layar ponsel yang menampilkan media sosial Instagram, mata Jahesa seakan mendelik mendapati pandangan mengejutkan di depan mata. "Rose?"
"Jahesa? Aku kira siapa."Roseanne Wiyana. Gadis yang namanya sudah disebutkan berulang di dalam hati Jahesa Adiningrat. Nama yang mampu membuatnya tak berpaling ke pada siapapun di sekitar yang lebih menarik.
Tampang wajah Rose yang tadinya senang langsung saja kusut bak pakaian tak disetrika. la lantas berdiri dari tempat duduknya sepuluh detik lalu.
"Aku permi-"
Tangannya sudah ditahan oleh tangan kekar yang tak mau melepaskan.
Jahesa sungguh tak tahu harus berbuat apa selain dengan mełakukan hal yang sering ia anggap alay itu. Menahan tangan sang kekasih untuk tak pergi.
"Disini bentar, bisa?"
Rose menggeleng keras sambil memasang wajah datar, seakan tak mau berkata apapun dengan si penggenggam tangan itu. "Aku mau kita putus."
"Siapa kasih kamu saran bodoh begitu? Aku gak mau putus."
"Aku gak mau putus sama kamu, Rose."
Rose naik pitam. Tak setuju dengan keputusan sepihak yang dibuat oleh lelaki tak tahu diri di hadapannya itu. "Yak, emang lo siapa bisa ngambil keputusan tentang takdir gue?"
Sebelum membuat mereka menjadi pusat perhatian di perayaan ultah sang paman, Jahesa sudah menarik Rose dengan dress panjang berwarna hitam yang membuatnya berjalan sedikit tertatih- tatih.
Jahesa membawa mereka ke luar gedung perayaan itu. Masih dengan amarah yang mendekam dalam diri masing-masing, tudingan dan salah paham mulai bermunculan lewat kata serta kalimat jahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Man's Feeling ✓
General FictionDia Roseanne Wiyana. Gadis yang setia menemani malam si mahasiswa amburadul. ©biangpenat, 2020