Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah be-
tut
Jahesa lekas menurunkan ponsel yang sedari tadi bersemayam di atas telinga kirinya itu.
Sekarang sudah pukul dua siang dan seperti janji Jahesa, ia akan ke rumah Rose setelah magangnya selesai.
Dan lihatlah, ia telah berdiri di depan pagar rumah mewah sang pujaan hati sambil punggung tegapnya memikul tas berat berwarna hitam.
Sudah berulang kali Jahesa mengetuk pintu pagar dan naasnya, tak ada jawaban sama sekali dari dalam sana. "Roseanne!"
Jahesa menaikkan kedua tangannya yang terasa lelah keatas kepalanya.
Huh, hari ini sungguh berat rasanya.
Ia sudah meminta izin pada dosennya untuk tidak menghadiri pertemuan hari ini dan sia - sia sudah izin yang jarang ia dapatkan itu.
"Lo nyari siapa?"
Jahesa yang tengah memejamkan matanya karena lelah itu terpatung sesaat. Ia mendapati lelaki yang wajahnya tak asing itu, sedang berdiri tidak jauh darinya.
Kembali ia menilik dan suara 'oh' dikeluarkan tanpa sadar.
"Kamu Candra? Orang yang mau dijodohin sama Rose?"
Lelaki itu ternyata adalah Candra. Ia dengan kemeja formal putih dan celana denim hitam panjang itu mengangguk semangat seusai mendengar tuturan singkat dari Jahesa, pacar dari calon istri masa depannya itu.
"Bisa gak lo gausah cari Rose?"
Jahesa menaik turunkan alisnya, bosan.
Ia menurunkan kedua tangannya dan membiarkan angin menerpa lengan berotot itu.
"Kenapa gak boleh? Toh, dia pacar gue."
"Pacar? Bangga banget lo sama tuh gelar." Candra berdecih, benar - benar sangat tak menyukai pria itu.
"Loh, emang kenapa? Lo sewot yah?" Jahesa berusaha tak memancing emosi Candra, namun rupanya ia lebih dulu terpengaruh oleh cemooh Candra barusan.
Okay, cukup sudah. Candra sangat kesal dibuatnya.
Lelaki itu berjalan mendekati Jahesa dan tangan kanannya telah siap memberi sebuah pukulan keras.
Namun baru saja akan mendaratkannya, Jahesa telah menahan kepalan tangan yang kencang itu. Ada senyum puas terpatri di bibirnya.
Jahesa dengan sedikit kekuatan, mendorong kepalan tangan Candra dan menurunkannya, sambil ia berucap: "Please deh. Lo pukul gue juga gabakalan menggantikan posisi gue di hati Rose."
Candra diam mematung. Ia menepis tangan Jahesa lalu merapikan kerah kemejanya.
Lelaki itu menaiki mobil merahnya yang terparkir tak jauh dari sana.
Jahesa menatap kepergian Candra. Lelaki itu meletakkan tangan kirinya di depan dada dan mengelusnya pelan.
"Bagus Jahesa. Lo bisa nahan emosi."
Perasaan senang itu sepertinya harus dihentikan sejenak. Manakala sebuah panggilan tanpa nama muncul begitu saja di layar ponsel Jahesa.
Ia merogoh saku celananya, lalu segera mengangkatnya. "Halo?"
"Mohon maaf menganggu. Saya Taeil, wali kelas Roseanne Wiyana."
Jahesa dibuat bingung. Mengapa guru Rose menelponnya?
"Iya. Ada perlu apa yah?"
"Jadi begini. Kami telah menelpon ayah dan ibu Roseanne namun tak kunjung diangkat. Kami lalu memeriksa ponsel anak itu dan anda adalah salah kontak yang sering ia hubungi. Disini, anda diberi nama Om Jahesa. Apa benar anda adalah kerabat siswi ini?"
Ah. Tunggu sebentar.
Apa Jahesa sedang dibuat kesal dan lucu dalam waktu yang bersamaan?
Really? Om Jahesa?
Jahat sekali kau, Roseanne Wiyana.
"Ya, saya kerabat Rose."
Terdengar hembusan lega di sebrang sana. "Ah ya, perihal saya menelpon anda-"
"Rose kenapa emangnya?"
"Roseanne Wiyana sedang ada di ruang BK. Ia kedapatan merokok dan membuat ricuh kantin sekolah."
"Jadi, bisakah anda ke sekolah Rose sekarang?" lanjut si penelpon itu.
-----
rose, kamu ngapain neng?
nyari kerja dah.
kasian kan om jahesa,
baru pulang magang dianya.
salam 3002,
arga
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Man's Feeling ✓
General FictionDia Roseanne Wiyana. Gadis yang setia menemani malam si mahasiswa amburadul. ©biangpenat, 2020