Matanya memelas ingin menolak, namun sosok Doyoung sudah naik ke atas motornya.
"Doy, gue bisa pulang sendiri."
"Gue anterin," ujar Doyoung yang kini menepuk jok belakang sebagai tanda suruhan bagi si puan untuk naik ke atasnya.
"Gapapa nih?" Rose mengernyitkan dahinya.
Doyoung angguk kepala. "Iya. Gue anterin."
Rose sungguh berterima kasih punya sosok tuan pengendara motor ini. Dengan tas punggung di belakangnya, Rose lalu naik keatas motor Doyoung.
Lelaki itu mulai menjalankan mesin beroda dua tersebut.
☆☆☆☆☆
"Makasih udah nganterin." Rose sebagai pembuka dialog manakala motor Doyoung sukses berhenti di depan rumah mertuanya itu.
Perlahan ia turunkan tubuhnya dari saja dan mensejajarkan pandangan pada si pemilik motor.
Rose pun tak lupa membuka helm yang tadi melingkari kepalanya itu dan ia serahkan ke depan Doyoung.
"Makasih yah Doy."
"Sama-sama."
Baru saja akan membuka pintu pagar, Doyoung menahan satu tangannya.
Rose mengangkat alisnya sebelum akhirnya bereaksi menepis tangan lelaki itu. "Kenapa?"
"Soal Jahesa, gue yakin masalah lo berdua bisa selesai. Gue bantu doa yah, semoga kalian baik-baik aja."
"Terima kasih," balas Rose begitu canggung.
Doyoung pun pamit dan meninggalkan jalanan depan rumah temannya itu.
Rose membalikkan badan dan lekas membuka pintu pagar. Suasana rumah masih sangat sepi, sudah dapat dipastikan tak ada seorang pun di dalamnya.
Ia terlihat khawatir, pun segera setelah menutup kembali pintu pagar, Rose mengalihkan fokus pada ponsel di dalam tasnya.
Puan berambut panjang itu menekan panggilan pada sebuah kontak yang begit familiar di matanya, sembari kedua kaki melangkah masuk ke dalam rumah.
Suara panggilan terus berbunyi, sedang sosok yang dipanggil tak kunjung menjawabnya.
"Jahesa, kamu dimana sih?" suntuk Rose yang sudah mendudukkan pantatnya di sofa ruang tamu.
Pandangannya beredar di ruangan besar itu. Perihal ini begitu hampa, sama seperti hatinya sekarang.
Menunduk, menengadah lalu menggigit bibirnya singkat, Rose berusaha menetralkan perasaan bahwasanya panggilan yang sejak tadi ia tujukan pada Jahesa tak kunjung diangkat.
"Jahesa," lirihnya tertunduk.
Panggilan terputus, setelah suara operator memenuhi indra pendengaran Roseanne.
Gadis itu meletakkan ponselnya di atas sofa pun membanting punggungnya begitu keras pada bagian belakang sofa. "Sial."
"Sayang, kamu kenapa gak angkat telepon aku?" ucapnya entah pada siapa.
Rose ingin sekali mengutuk dirinya.
Semua yang tadi terjadi sungguh kesalahan fatal. Bagaimana bisa ia menghiraukan suaminya dan malah membela temannya? Tapi....Doyoung sungguh tak berbuat macam-macam, Jahesa lah yang menghakiminya duluan.
"Jahe--"
ting tong
Bel rumah terdengar.
Rose bangkit berdiri dan sembari menepis cucuran air mata yang sudah banyak bekasnya di pipi kiri juga kanan, ia berjalan menuju pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Man's Feeling ✓
General FictionDia Roseanne Wiyana. Gadis yang setia menemani malam si mahasiswa amburadul. ©biangpenat, 2020