Roseanne menarik napas dalam. Ia sungguh dipermainkan oleh takdir Tuhan kali ini. Bagaimana bisa dirinya beberapa menit lalu dengan polosnya mengiyakan permintaan maaf Jahesa?
Dan hey, apa lagi ini, dijodohkan dengan Jahesa? Apa Tuhan sedang bercanda dengan Rose? Sungguh tak lucu jika hal itu benar adanya.
"Kenapa kami dijodohkan?" Jahesa yang sedang duduk disampingnya itu mulai membuka mulut setelah hening menjadi suasana yang sejak awal datang menghadiri.
Disana sudah duduk dengan gagahnya ayah Jahesa dan ayah Roseanne. Mereka saling bertatap, seakan mengedarkan pendapat satu sama lain lewat pandangan mata agak tajam.
Rose duduk dengan kelam, meski hati sedang memberonta. Tak habis pikir dengan jalannya otak sang ayah yang sejak lama dibencinya itu.
Jadi ini yang dinamakan pertemuan bisnis? Saling jodoh - menjodohkan?
Ayah Jahesa membuka percakapan di malam itu, berlokasi di ruangan lain dalam lokasi tempat perayaan sang saudaranya itu. "Kemarin kan udah dibilangin, kamu dijodohin biar ngebantu perusahaan keluarga Wiyana yang terancam bangkrut."
"Kamu iyakan saja bisa kah? Lagi pula ini pacar kamu sendiri, bukan begitu Rose?" Yang ditanya hanya diam tak berucap, malah semakin membuat Jahesa geram dengan sikap keputusan sepihak sang ayah.
"Kamu setuju kan, Jahesa?"
"Aku gak setuju." Jahesa dengan lantang berucap, membuat ayah Roseanne agak terperangah dengan sifat anak yang akan menjadi calon menantunya itu.
"Kenapa disini terkesan papa yang ngemis minta persetujuan aku? Kenapa ayahnya Rose diam seribu bahasa?"
"Bapak patung yah?" sindir Jahesa telak.
Roseanne yang mendengar penghinaan halus itu menaikkan kepalanya dan menatap Jahesa. "Eh, kamu ngomong sama orangtuaku bisa sopan gak?"
"Aku ga suka sama dia."
"Kamu seakan ngemis di saat tahu saya anak dari keluarga besar berpengaruh di daerah sini. Kemana saja anda selama ini? Tidak merestui hubungan saya dengan anak anda, bahkan tak sudi mempunyai calon mantu seperti saya."
Jahesa selesai mengeluarkan unek- uneknya. Bukti nyata bahwa lelaki itu tak suka menyimpan dendam meski kebencian masih terlalu besar tertumpah kepada ayah sang pacar itu.
Ayah Rose menunduk singkat dalam posisi duduknya, seraya dengan raut serius ia berucap. "Saya minta maaf."
"Tidak usah. Toh nanti setelah hubungan anda dengan keluarga saya semakin dekat, anda pasti akan kembali tak mementingkan saya. Anda kira saya hanya sekedar pembawa pamor besar keluarga? Saya lebih dari i-"
"Iya. Aku tahu kamu kaya." Roseanne memotong perkataan Jahesa. Tak sudi dirinya saat sang ayah dikritik secara keras di hadapannya bahkan telinganya dibuat panas oleh kata- kata yang keluar dari mulut Jahesa Adiningrat.
"Aku tahu kamu kaya dan aku bukan dari keluarga berada."
"Bukan dari keluarga berada?" tanya Jahesa menatap intens Roseanne. Kalap kabut ia lanjut berkata, "Coba sesekali kamu tengok rumah kamu itu. Dipikir itu kandang ayam apa yang ada emas berlian dihiaskan disana?"
"Jahesa Adiningrat. Kamu bisa diam?"
Geraman sang ayah terucap lewat kalimat yang ia berikan kepada anak lelaki semata wayangnya itu. Jahesa hanya memutar bola matanya dengan malas, sembari kembali memposisikan tubuhnya menghadap pada dua orang diseberang meja sana.
Ayah Jahesa dan ayah Roseanne lalu mulai memberikan berbagai penjelasan serta pembelaan menyangkut perkataan dan sindiran yang dikeluarkan oleh anak mereka masing-masing.
"Kalian juga saling suka, apa salahnya dijodohin."
Kalimat itu. Rose sungguh dibuat kesal dengan perkataan enteng sang ayah. Pikirnya perjodohan mampu mengembalikan cinta yang sukanya naik turun bak diagram penjualan barang?
"Tolong jangan mengutamakan bisnis kalian disini. Dua orang yang dijodohkan demi keberhasilan perusahaan anda adalah saya dan Roseanne. Tolong mengerti perasaan kami."
"Rose sedang tidak senang dengan saya, mohon pengertiannya kepada anak gadis anda, ayah Roseanne," lanjut Jahesa lagi, seakan meluruskan pengertian cinta dan perjodohan yang dianggap enteng oleh dua orang dihadapannya itu.
"Kami berdua sudah dewasa. Dipikir cinta itu gampang? Ayah saja pisah dengan ibu karena perjodohan konyol padahal saling cinta. Bagaimana dengan kami berdua?"
Jahesa, kamu bener buat aku bangga, batinnya yang tak lepas dari pikiran tentang lelaki yang berusaha tenang mengutarakan pendapatnya.
Rose pikir Jahesa akan menyindir lagi. Namun justru ia menjelaskan lebih detail bahwa tak semudah itu pemikiran orang tentang cinta dan perjodohan.
"Saya permisi."
Tanpa menunggu balasan dari kedua orangtua tu, lelaki dengan pakaian ala pesta resmi tersebut sudah bangkit dari kursi tempatnya duduk kemudian melangkah pergi dari ruangan tersebut .
Rose pun ikut berdiri. Tak mengucap kata permisi, ia sudah membungkukkan badannya tanda hormat lalu mengikuti langkah Jahesa keluar.
Mata Roseanne bergerak kesana-kemari. Rasanya Jahesa baru saja keluar, lalu mengapa lelaki itu seakan hilang dari peradaban? Kemana ia pergi?
"Nyariin aku?"
Rose berbalik dan lihatlah di depan matanya. Sebuah keindahan yang berhasil mencuci matanya untuk kesekian kalinya. Alis gadis ito mengerut, sembari bibir yang dimonyongkan ke depan. "Kamu kemana aja, Jahesa?"
"Minum alkohol," jawabnya lugas dan dengan enteng menarik Rose dalam pelukan erat sekali lagi.
Rose lantas mendorong wajahnya menjauh dari dada Jahesa, masih dengan posisi tak ingin melepaskan pelukan erat di pinggangnya dari seorang Jahesa Adiningrat. "Jangan minum, nanti besok kamu sakit."
"Iya, bawel."
"Nama aku Roseanne Wiyana, bukan bawel."
"Iya, maaf. Bawel."
"Hiss, whatever lah!"
Mereka terus berpelukan, hingga tak sadar ada seorang pemotret jahil yang jarinya terus bergerak mengklik kamera dalam ponsel.
"Berita besar nih."
.....
maunya kagetin kalian jadi pas buka mata cek hp langsung deh ada notif beginianbtw maksud aku sama kejadian lucu yah itu tadi, bagian terakhir chapter ini🤯
masih pagi nih, ga ada yang mau nyapa arga gitu ☺👉👈
pagiiiiiii
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Man's Feeling ✓
General FictionDia Roseanne Wiyana. Gadis yang setia menemani malam si mahasiswa amburadul. ©biangpenat, 2020