30. Senyamannya Kamu

1.4K 252 12
                                    

Keberangkatan Jahesa kall ini serba terburu- buru. Bahkan tanpa membawa tas besarnya yang biasa ia pakai untuk bepergian. Lelaki itu hanya mengandalkan tas samping hitamnya dan pakaian seadanya yang masih menyelimuti tubuhnya itu. Tak lupa dengan sepatu kets hitam dan uang saku tak seberapa. Malam itu juga, Jahesa pergi ke Jakarta.

"Pa, jangan marah anak laki- lakimu ini."

Singkat cerita, di pagi hari pada pukul 7 pagi, Jahesa Adiningrat tiba di Jakarta. Lelaki itu segera menaiki taksi dekat sana dan mengarahkannya ke rumah miliknya itu. Dengan kepanikan yang sedikit terselip dalam hatinya, Jahesa sempat mengetikkan pesan singkat pada kakaknya

Kak Ital, entar aku sampe tolong bilangin papa jangan dipukulin Ceramah aja. Bekas sakitnya lebih dalem.

tertanda, adikmu yang tampan sejagat raya:))

Jahesa yang keasikan bermain ponsel, sampailupa apabla taksi sudah memberhentikan mesinnya satu menit lalu. "Mas, sudah sampai."

"Ah, udah yah?" Jahesa kelihatan bingung- Dirogohnya saku dan mengambil dua lembar uang lima puluh ribu dan langsung memberikannya pada sang sopir.

Sempat ia ucapkan terima kasih sembari tersenyum pun kemudian keluardari sana dan berdiri di depan pagar megah berlapis emas--kata kak Ital--itu.

"Gue telpon aja kalik?" Ingin sekaliJahe sa tadi memutarbalikkan waktu be berapa detik yang lalu. Seharusnya tadi ia di dalam taksi sebentar dan baru menelpon kak Ital sehingga dapat membukakan pagar untuknya.

Sebab lihat siapa yang sudah dengan gerakan khas bapak- bapak tengah membuka pagar tinggi itu. "Pa-"

"Ke meja makan." Ungkap bapak- bapak itu. Marcelo Adiningrat namanya. Ayahanda dari Jahesa dan Ital yang baru menginjakkan kakinya di Indone sia setelah empat tahun mendiami tanah Amerika.

Jahesa menunduk, persis seperti bocah yang memecahkan gelas dan kini akan disidang oleh ayahnya sendiri. Lelaki itu dengan wajah muramnya mulai mengikuti langkah ayah yang tengah mengenakan celana kain panjang ala rumahan.

"Assalamualaikum," salam Jahesa saat wajah-wajah yang dikenalinya itu. Kak Ital dan kak Jongin kini tengah menyantap makan malam di meja lumayan besar.

Ital tersenyum kikuk. Jongin pun melakukan hal yang sama. Keduanya balas mengucap sebagai bentuk respon singkat. Jahesa tahu ini gelak yang curiga. Tapi ia hanya ikut permainan.

Lelaki itu dipersilahkan duduk oleh ayahnya yang sudah sejak tadi menempatkan pantatnya di atas salah satu kursi meja makan.

"Aku m-mau ngomong-"

"Makan dulu. Abis dari Surabaya kamunya. Nanti kecapean. Kalo sakit uang keluar." Spontanitas khas ayah itu entah kenapa kembali membawa Jahesa saat ia sering sekali disodorkan dengan rentetan kalimat penuh dampak negatif dari apa yang sering ia lakukan saat kecil.

Jahesa mengangguk. Mengambil piring dan sendok lalu mulai meletakkan satu persatu lauk paukyang ia sukai kepada kepunyaannya.

"Kamu ke Jakarta gak minta izin Roseanne yah Jahe?"

"Roseanne siapa?"

Jahesa yang baru saja berdoa itu ingin sekali menohok kakaknya yang sedang menahan tawa karena berhasil memojokkannya di saat posisinya sudah terpojokkan sedari tadi.

"Papa, dia itu temenku."

"Temen apaan yang keluar kota pake izin segala? Itu sahabat namanya," balas ayah, sembari menyendokkan satu sendok nasi kedalam mulutnya.

Lelaki yang tengah dipojokkan oleh situasi itu menggaruk tengkuknya. Alisnya bertautan, berusaha mencari alasan yang tepat dalam menciptakan kebohongan. "Temen deket doang itumah. Sahabat Jahesa kan lagi sekolah di Paris pah."

Dead Man's Feeling ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang