Om Jahesa : Rose, aku di depan rumah. Aku tepatin janji. Jam 7 malam aku jemput kamu. Kenalan sama papa dan kak Ital.
Telat.
Sangat telat.
Si pembaca pesan baru saja membuka chat dari lelaki yang ia cintai pada pukul dua belas malam.
Dengan mata sembap dan bekas tetesan air mata di kantung mata, Roseanne Wiyana menatap ponsel yang menampilkan pesan dari Jahesa beberapa jam lalu.
Dia menepati janji.
Pria jurusan kedokteran di sebuah universitas Surabaya terkenal dengan usia yang cukup tua dalam menempuh S1 itu benar - benar datang pada pukul 7 bersama sebuket melati yang digendong manis oleh Jahesa.
Ia bahkan mengambil foto yang menampilkan pakaian formal dikenakannya begitu rapi di badan.
Rose tersenyum pahit lalu dengan air mata yang tadi sempat terhenti mulai lagi menetes.
Gadis itu menarik badannya yang terkulai lemas di atas kasur king size dengan sprei cokelat bak aesthetic zaman sekarang.
"Jahesaaaaaaaaa!" Tak berniat sang pemilik nama datang, Rose justru hanya ingin mengeluarkan unek hatinya.
Ia sakit hati.
Sebuah informasi yang ia terima dari sang sahabat sudah cukup membuatnya terpuruk.
Gadis itu menatap sekeliling kamar bernuansa cokelat muda tersebut. Tak ada yang menarik. Tapi berhasil membawa warna tersendiri pabila ada seseorang yang menghuni.
"Jahesa gue butuh lo!"
"Aku butuh kamu! Hueeeee!" Ia berteriak pelan, bermaksud tak mengganggu seisi rumah yang pasti sudah terlelap di atas kasur masing - masing.
Roseanne mengenakan pakaian anggun yang dipilihnya dengan sembarang di dalam lemari pakaian.
Ia bahkan ingin sekali turun dan ikut masuk ke dalam mobil yang seabad sekali dibawa oleh Jahesa Adiningrat keluar dari rumahnya.
Namun apa daya.
Otak butuh istirahat. Maka hati pun butuh istirahat.
Berhenti sebentar dari kebucinan, kesakitan, ketidaknyamanan, kebencian, keharusan yang menyakitkan dan kecintaan pada seseorang.
Rose seakan ditahan hati untuk tidak bertemu Jahesa di hari itu.
Dan ia tahu.
Sebagai manusia normal, penyesalan akan datang belakangan.
Ia menatap langit kamar kosong dengan pandangan berair dan bibir yang dibuat manyun. "Seharusnya gue turun dan ketemu sama lo."
"Seharusnya gue cerita soal pembullyan yang sedang dan akan gue alami di sekolah karena bohong soal orang yang gue bawa ke sekolah sebagai sanak saudara padahal dia pacar gue sendiri."
"Maafin gue Jahesa. Hueeeee, hueeee."
Harus diiyakan bahwa suara tangisan Rose tak ada bagusnya, meski wajah boleh dibilang langka adanya.
Dan entah keajaiban darimana, sebuah video call datang ke ponsel Rose.
Ia buru - buru berdiri dengan agak susah mengingat kakinya masih memakai heels hitam tinggi kepunyaan sendiri. Rose merapikan rambut acakan meski tak tahu siapa yang akan ia terima vidcall-nya.
Klik
Jari kanan yang menggeser ke kanan dan langsung menampilkan seorang pria dengan senyum begitu tulus.
Terlalu tulus hingga Rose dibuat menangis begitu saja.
"Jangan nangis. Sekarang turun. Aku di bawah."
"Jahesa, lama yah?"
"Gak papa. Aku orangnya setia."
Rose mewek begitu saja. Ada rasa bak binatang di perutnya.
Menggelikan tapi ia suka.
"Jahesa! Tungguin," ungkap Rose sambil memajukkan wajahnya yang hanya mendapat respon senyum lagi dari Jahesa.
"Selalu Roseanne Wiyana, calon Adiningrat."
😟😟
hola amigos ini baru permulaan.
yang kangen update dmf mohon absen disini.
next part aku ungkapin masalahnya:)btw tadi gamau pake foto tapi buru2 deh diedit. serius gue senyum2 terus. eh tapi mian buketnya kek kecil banget di tangan jahesa😭✊
plis kalian yang baru gabung cerita tolong sertakan komen dan vote, jangan jadi sider yah. nulis butuh perjuangan say:)
mau nanya dong, update-an gue masuk gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dead Man's Feeling ✓
General FictionDia Roseanne Wiyana. Gadis yang setia menemani malam si mahasiswa amburadul. ©biangpenat, 2020