Rafa

70 10 1
                                    

Hastu sebagai peserta rapat sudah hadir beberapa menit yang lalu. Seharusnya, rapat sudah di mulai saat Hastu duduk. Namun, salah satu peserta rapat yang tidak bisa hadir, meminta kepada Hastu untuk menunggu perwakilannya. Rapat pun diundur hingga perwakilan yang dimaksud datang.

"Tuan, anda masih begitu muda, tapi anda mampu mengelola perusahaan dengan begitu baik." Puji salah satu peserta rapat. Hastu hanya menanggapi dengan senyuman.

Hingga seseorang memasuki ruang rapat dan semua orang berdiri menyambutnya, kecuali Hastu. Sedikit terkejut dengan hal itu, Hastu hanya mengerutkan dahi.

"Selamat pagi semuanya, maaf saya terlambat." Ucap Nathan. Hastu berdiri dari duduknya karna terkejut.

"Hastu? Lo juga-" ucap Nathan.

"Kalian saling mengenal? Tidak disangka anak muda sekarang lebih berpontensi dibanding orang-orang tua seperti kita." Puji salah satu peserta rapat.

"Kalian lebih berpengalaman dibandingkan kami, tuan." Ucap Nathan merendah. Sementara Hastu masih mematung ditempat. Nathan, perwakilan dari PT.Asri Jaya. Itu berarti, dia salah seorang yang berkedudukan di perusahaan yang di pimpin orang yang menjebak Vano.

"Saya masih membutuhkan saran dari kalian, bukan begitu tuan Hastu?" Ucap Nathan membuyarkan lamunan Hastu.

"Orang tua adalah panutan. Tentu saja kita selalu membutuhkan saran dari kalian." Ucap Hastu datar.

####

Hastu memenangkan tender dengan memperkuat sahamnya. Nathan membantu Hastu dengan menambahkan saham miliknya. Sekarang Nathan juga bagian dari perusahaannya.

Hastu duduk di meja kerjanya. Matanya menyorot lurus ke selembar kertas ditangannya. Jabatan Nathan adalah manager tapi ia mampu meyakinkan seorang Anggoro untuk mewakilinya menghadiri rapat sepenting itu. Itu berarti Nathan bisa menjadi penghubung antara dirinya dan Anggoro. Meski begitu jelas kemungkinan itu terjadi, Hastu tetap merasa aneh. Ada sesuatu yang menurutnya tak wajar.

Ajeng menghampiri Hastu dengan makan malam ditangannya.

"Udah dua hari sejak pulang dari hotel, lo kek gini. Ada apa?" Tanya Ajeng. Hastu menutup berkas-berkas di depannya lalu menghampiri Ajeng.

"Gak ada. Lo gak pulang?" Tanya Hastu.

"Pulang setelah lo makan. Gue gak mau lo sakit karna kerja terlalu berlebih." Ucap Ajeng sembari membelai pipi Hastu. Posisi mereka yang cukup dekat, membuat Hastu menyadari sesuatu.

Ajeng tak pernah mengenakan anting maupun kalung. Bahkan Ajeng tak pernah mengenakan gelang pemberian Hastu dulu. Aksesoris semacam itu tak pernah ia kenakan selama bekerja diapartemen. Sejauh yang Hastu tahu, ada sebuah pin yang selalu bertengger di tas Ajeng.

Hastu menatap lekat manik mata Ajeng. Jakunnya naik turun seolah menahan sesuatu.

"Gue kerja juga buat lo, buat kita, buat rencana-rencana indah kita nanti. Gak apa gue kerja keras." Ucap Hastu akhirnya. Ajeng tersenyum getir mendengar kalimat Hastu yang begitu penuh harapan.

"Kalo gue gak kerja, gimana gue bisa ngasih gaji ke elo?" Canda Hastu. Ajeng lagi-lagi hanya menanggapi dengan senyuman.

"Oke, hari ini makan malem samaaa- jeng jeng jeengg." Ucap Hastu sembari membuka tutup saji.

"Gue boleh gak, skip makan malem hari ini?" Rajuk Hastu.

"Hmm? Knapa? Gak selera sama sayur sop bikinan gue?"

"Bukan sih, hari ini gue pengen jajan diluar. Gimana kalo makan sate? Lama gue gak jajan dipinggir jalan." Ucap Hastu.

"Tapi gue udah bosen jajan dipinggir jalan. Traktir gue direstoran sushi!" Pinta Ajeng.

Langit dan Senja [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang