Sebenarnya...

83 9 10
                                    

Flashback

Ajeng mengunjungi sebuah rumah, mirip seperti panti. Namun hanya dihuni beberapa orang.

Dengan hati riang, Ajeng memasuki sebuah ruangan. Pintu terbuka sebelum Ajeng memasuki ruangan tersebut.

"Ada yang berkunjung?" Gumam Ajeng. Ia melanjutkan langkahnya. Namun kembali terhenti diambang pintu saat telinganya menangkap suara seseorang yang tak asing.

"Tante, maafin Nathan." Ucap Nathan. Ajeng mengintip dari sela pintu. Nathan sedang menyuntikan sesuatu ketangan Deva.

"Kalo gak gini, kerjaan Nathan gak mungkin berhasil. Dan kalo gak berhasil, Nathan bakal dibuang kek sampah." Bisik Nathan penuh penekanan.

"Tante, tolong bantu Nathan ya? Bantuin Nathan buat ngedapetin apa yang papa pengen."

"Nathan pengen papa tau, kalo Nathan ini berharga. Nathan bisa lakuin apa aja demi beliau!"

Deva meringis menahan sakit saat obat dalam suntikan itu masuk kedalam tubuhnya. Tak lama, Deva tertawa cekikikan tak jelas.

"Sakitnya cuman bentar kan tante? Tentu jauh berbeda dari yang Nathan alamin waktu kecil."

"Tante tau, harusnya tante gak ngeganggu hubungan om Vano sama tante Fellicha!"

"GARA-GARA TANTE, TANTE FELLICHA MATI! GARA-GARA TANTE, KELUARGA PAPA BANGKRUT!"

"Tante, hidup enak boleh, tapi jangan serakah!"

"Tante tau, anak tante yang cantik itu, yang dipuja-puja semua cowok, itu jadi boneka Nathan! Dia bakal hancurin hidup Hastu buat Nathan, dan setelah itu, pasti Nathan bakal rawat Ajeng dengan baik. Jadi tante bisa tenang di neraka!"

Tubuh Ajeng bergetar seketika. Perlahan ia memundurkan langkahnya dan bersembunyi dibelakang lemari.

"Tante, nikmatin istirahat tante sebelum pergi untuk selamanya. Nathan pergi dulu, nanti bakal balik kesini lagi dan mastiin tante masih hidup ato udah mati. Permisi, tante."

####

Dengan langkah gontai, Ajeng menemui Nathan di rumahnya. Rumah yang dulu adalah milik Ajeng, kini beralih nama kepemilikan atas nama Nathaniel Abraham.

"Permisi, gue mo ketemu tuan." Ucap Ajeng pada salah seorang pelayan. Usianya sepantaran Ajeng, namun Disya lebih unggul dalam bekerja. Jadi ia adalah seniornya Ajeng.

"Lo ngomong sama siapa?" Tanya Disya.

"Senior." Jawab Ajeng singkat.

"Ulangi! Dengan lebih sopan." Syarat Disya.

"Senior, saya ingin bertemu dengan tuan." Ulang Ajeng. Disya tersenyum sinis.

"Jangan karena lo, lebih deket sama tuan dibanding gue, lo gak bisa seenaknya! Gue masih senior lo disini, jadi lo harus lebih sopan!" Ucap Disya sembari mendorong Ajeng.

"Maaf."

"Lo tuh harus dikasih pelajaran, biar gak lo ulangin lagi kejadian ini." Ucap Disya, gadis itu mengangkat tangannya. Ajeng menunduk dan menutup matanya ketakutan. Disya siap melayangkan tamparan untuk Ajeng namun seseorang datang dan mencekal tangannya. Disya menoleh.

"Kenapa repot-repot sih? Kasian tangan lo, nanti kotor." Ucap Nathan.

"Tu-tu-tuan."

"Jangan bertindak tanpa ijin gue," ucap Nathan. Ia menghampiri Ajeng dan membelai pipi Ajeng didepan Disya. Gadis itu nampak cemburu.

"Wajahnya gak boleh tergores sedikit pun. Jan lukai fisiknya." Ucap Nathan. Disya yang kesal pamit undur diri.

"Saya mengerti, saya permisi tuan." Ucap Disya.

Langit dan Senja [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang