Hari berlalu berganti bulan. Tiga bulan pertama, Ajeng secara teratur memenuhi keinginan Hastu untuk terus mengkonsumsi berbagai jenis makanan bergizi dan mengurangi segala bentuk kegiatan yang akan membuatnya kecapekan. Hastu pun kerap mengajaknya berhubungan intim. Hastu tak mempedulikan lelah tubuhnya, ia hanya ingin memenuhi keinginan Ajeng untuk segara hamil.
Hingga suatu pagi saat Ajeng mengikuti Asri, pembantunya untuk belanja. Ia ditemani Asri berjalan kaki ke ujung kompleks demi membunuh kejenuhan.
"Daging sapinya ada mang?" Tanya Ajeng kepada penjual sayur.
"Aduh neng, sudah habis. Ganti ikan aja neng." Ucap mamang penjual sayur.
"Lahh, masih program neng? Kapan nimangnya?" Celetuk salah satu ibu-ibu kompleks yang ikut belanja.
"Ehh, masih penganten baru, masih normal kalo belum dikasih." Sahut yang lain.
"Udah berapa bulan neng nikahnya?" Tanya yang lain lagi.
"Lima bulan yang lalu." Jawab Ajeng.
"Oalah." Sahut mereka bersamaan.
"Harusnya sih, umur pernikahan segitu umumnya sudah hamil. Tapi kalo belum dikasih, ya emang harus usaha. Tante dukung kamu." Ucap ibu-ibu yang lainnya lagi. Meski terkesan memberi semangat, namun kalimatnya begitu menohok Ajeng. Ia penasaran, bagaimana ibu-ibu ini tahu ia sedang menjalani program kesuburan, sedangkan ia tak pernah bercerita kepada siapapun.
####
"Sri," panggil Ajeng.
"Ya, non?"
"Lo cerita ke orang-orang?" Tanya Ajeng. Mereka sedang memasak bersama. Ajeng ingin Hastu hanya makan hasil masakannya.
"Enggak non." Jawab Asri.
"Terus?"
"Asri kurang tahu non, memangnya belanjaan non yang tiap hari Asri belanjain beneran buat program itu ya non?" Tanya Asri. Asri memang masih seorang gadis, cukup belia untuk bekerja menjadi seorang pelayan. Namun ia lebih memilih bekerja dibanding harus sekolah. Kepribadiannya mirip dengan Hastu. Itulah mengapa Ajeng menyukainya bahkan Ajeng lebih mempercayai Asri dibanding pelayan lain.
Ajeng mengangguk.
"Dua minggu yang lalu memang ada yang nanya non, tiap hari belanja daging buat siapa, gitu. Jadi Asri bilang kalo itu belanjaan non Ajeng." Jawab Asri lugu.
"Ohh. Yaudah, siapin kotak bekal tuan ya, gue mo ke kantor tuan." Ucap Ajeng.
####
Seperti biasa, Ajeng mengunjungi Hastu di kantornya dengan kotak makan siang ditangannya.
Hastu tengah sibuk dengan panggilan diponselnya saat Ajeng memasuki ruang kerja Hastu. Ia menoleh dan tersenyum begitu melihat istrinya duduk di sofa meski panggilan yang diterimanya nampak alot.
Hastu menghampiri istrinya. Mengacak gemas puncak kepala Ajeng dengan tersenyum dan terus menjelaskan kepada seseorang diseberang sana. Hastu terus berujar 'iya' berulang-ulang. Namun tampaknya yang diajak bicara sulit mencerna penjelasan Hastu.
Klik. Akhirnya sambungan itu terputus setengah jam kemudian. Ajeng yang mulai jenuh pun mulai beranjak. Hastu dengan cepat mencekal tangan istrinya. Menarik kuat-kuat lengan itu hingga Ajeng jatuh kedalam dekapan dada bidang Hastu.
"Jangan marah dong." Ucap Hastu manja.
"Aku gak marah. Kesel aja sama suami aku."
"Emang suami mbak kenapa?"
"Dulu suka banget bikin orang emosi karna kelemotannya dan sekarang bikin istrinya kesel juga karna harus nunggu dia jelasin ke orang yang sama-sama lemotnya. Karma emang ada ya?" Canda Ajeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Senja [complete]
Teen FictionMy fifth story😍. Sequel Devano. Baca yakk. Mei, 03, 2020 Cover by: me "Langit punya semuanya. Ia tak pernah kehilangan senja, fajar, matahari, bulan dan bintang. Ia setia menunggu senja datang menghiasi hari sorenya hingga malam menggantikan warna...