Lamaran

88 12 3
                                    

Ira melempar semua barang yang ada didekatnya setelah mendengar rencana pernikahan Ajeng dan Hastu. Ia tak terima.

"NGGAAKKKKK!" teriak Ira histeris disela tangisnya. Kakinya tak lagi mampu menopang berat tubuhnya, Ira lemas dan jatuh bersimpuh bersandar dinding.

"Nggaak boleh!" Ucap Ira terbata dengan tangis yang semakin keras. Menjambak rambutnya, memukul dadanya berulang-ulang. Ira menjerit histeris. Menit berikutnya, ia mengusap kasar wajahnya.

"Nggak! Kalo gue gak bisa milikin Hastu, siapapun juga gak boleh! Gak akan ada akhir bahagia buat lo, Ajeng!" Ucap Ira penuh amarah. Ia menggenggam pecahan gelas ditangannya. Sangat erat, hingga gelas itu hancur. Kalah akan kuatnya amarah Ira. Ia bahkan tak peduli dengan tangannya yang berdarah.

Ira bangkit dan membawa luka itu ke apotik.

####

Ajeng galau. Sudah seharian Hastu tak berkunjung kerumah. Ia mondar-mandir di teras atas dengan mata terus melihat jalanan. BerharapHastu segera datang mengunjunginya.

Angga yang ternyata juga berada diteras paling atas, mengernyitkan dahi.

"Ajeng." Panggil Angga. Ajeng menoleh lalu mendongak.

"Lo gak ada kerjaan lain? Mikirin Hastu mulu." Ucap Angga.

"Angga!" Panggil Ajeng.

"Apa?"

"Lo gak ada kerjaan lain selain nyinyir? Ngegoda asisten sebelah mungkin." Balas Ajeng. Angga mendesis kesal.

"Belom dua puluh empat jam gak liat Hastu aja udah kek orang linglung gitu, gimana kalo berhari-hari berbulan-bulan apalagi bertahun-tahun." Ejek Angga. Gantian Ajeng yang mendesis kesal.

Hingga sebuah panggilan telepon membuat Ajeng segera beranjak meninggalkan Angga.

"Dasar." Gumam Angga.

"Gue kapan ya, ada yang tulus beneran, sayang beneran ke gue." Tambah Angga.

"Mereka aja udah punya rencana mo nikah, berarti gue juga harus dong. Gue udah tua buat nain-main. Udah saatnya mikir keluarga. Tapi-ahh bodo!"

"Wanita itu sederhana, yang rumit mood-nya!"

"Lo ngomong sama siapa?" Tanya Gibran tiba-tiba.

"Sama angin." Jawab Angga lalu pergi begitu saja melewati Gibran. Gibran hanya menghela nafas lalu menikmati pemandangan diluar rumah yang dibeli Hastu.

"Selera lo cakep!" Puji Gibran.

####

"Lo gak kesini?" Tanya Ajeng melalui sambungan telepon.

"Bentar aja."

"Yaudah nginep."

"Kan lo yang beli. Jadi ini juga rumah lo."

"Kalo lo gak kesini, gue yang kesana!"

"Biarin! Orang gue kangen banget!"

"Bodo! Bodo! Bodo! Bodo!" Ucap Ajeng keukeh.

"Yaudah, ditunggu. Oiya, mo makan apa? Gue masakin."

"Jan ngejek ya!"

"Iya sih, biar gosong tapi kan udah masak."

"Yaudah iya, daahh."

Klikk. Telepon dari Hastu itupun sudah berhasil membuat mood Ajeng berubah bahagia.

"Dari Hastu?" Tanya Akmal menghampiri adiknya itu. Ajeng mengangguk. Akmal menggigit bibir bawahnya, merasa sulit untuk mengutarakan kalimat yang ingin ia lontarkan.

Langit dan Senja [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang