Lucius tidak mendapatkan jawaban apapun, ia bertanya apa yang Herald dan Reinhard lakukan hingga membuat Bianca menangis. Namun yang Lucius dapatkan justru teriakan teriakan tidak jelas dari Herald.
Herald mengamuk karena tidak bisa bergerak turun dari ranjangnya. Sementara Reinhard, ia berjalan keluar dari kamar rawat Herald dengan senyum puas.
“Pa, sebenarnya apa yang kalian bicarakan. Bianca sampai menangis, aku tidak pernah melihatnya sesedih itu.” Lucius membuntuti Reinhard yang berjalan keluar menuju parkiran, dimana Jonas telah menunggu kedatangannya.
“Tentu saja dia akan menangis, manusia mana yang tidak terluka saat mengetahui bahwa malaikatnya ternyata selama ini iblis yang berperan penting dalam kehancuran hidupnya.”
Lucius mengerutkan keningnya tidak mengerti, kenapa Reinhard harus bicara dengan kata-kata khiasan seperti itu. Lucius tidak bisa mengerti, ia terlalu panik dan ingin tahu apa yang terjadi.
“Bisakah Papa memberitahu ku yang sebenarnya?! Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi kepada Bianca itu saja!” Lucius meninggikan suaranya, berteriak kepada Reinhard.
Langkah Reinhard terhenti setelah mendengar teriakan Lucius, begitupun Lucius. Ia ikut berhenti.
Mata Lucius tak lepas memandang Reinhard yang berbalik ke arahnya. “Herald, laki-laki yang berusaha kau bunuh itu. Dia adalah pembunuh orang tua Bianca.”
Lucius terkejut mendengar informasi tersebut, Lucius sudah merasakan bahwa ada yang aneh dengan Herald. Namun perasaan tersebut tertutup oleh perasaan cemburu Lucius terhadap kedekatan Herald dengan Bianca.
“Memangnya siapa orang tua Bianca sampai-sampai Herald membunuh mereka? Jika Herald sudah membunuh orang tua Bianca, untuk apa dia bersikap baik dengan Bianca?” Lucius kembali bertanya, banyak sekali hal-hal yang mengganjal yang ingin Lucius ketahui terlebih lagi hal tersebut menyangkut Bianca.
“Tentu saja semuanya karena rasa bersalah. Aku tidak tahu apa kau masih ingat atau tidak, karena dulu kau masih sangat kecil. tapi Bianca itu anak Asher.”
“Bianca itu putri dari Paman Asher?!”
***
Bianca kembali ke rumah bordil, ia kembali ke kamarnya bermaksud untuk menenangkan diri. Namun disana justru sudah ada Madame yang telah menunggu kedatangannya.
“Kau sudah tidak bekerja disini tapi kau masih saja keluar masuk tempat ini sesuka mu.” Sindir Madame yang duduk di ranjang Bianca, tangannya terlipat di depan dada. Sudah sejak kemarin Madame ingin melakukan hal ini, mengusir Bianca.
“Kau masuk kamar ku tanpa izin?” Bianca murka, perasaannya semakin memburuk. Hati Bianca sudah hancur berkeping-keping saat ini dan perlakuan Madame hanya memperburuknya.
“Untuk apa aku butuh izin, aku boss disini. Kau bukan siapa-siapa. Kah bahkan tidak punya hak untuk menginjakkan kaki mu di tempat ini sejak kontrak kita berakhir!” Madame bangkit dari posisi duduknya, dengan sengaja mengacak-acak barang-barang milik Bianca yang berada di atas meja riasnya.
“Hari ini kau harus angkat kaki dari tempat ini, jika kau masih belum juga pergi saat aku kembali. Aku akan menyuruh security untuk menyeret mu keluar!” Madame melenggang pergi setelah membuat kekacauan.
Bianca berteriak kesal setelah Madame pergi, dengan terpaksa Bianca mengeluarkan semua pakaiannya dari lemari. Mengemasi semua barang-barangnya dengan air mata yang terus menetes.
Sebenarnya Bianca tidak ingin menangis, ia paling benci terlihat lemah seperti ini. Namun Bianca tidak bisa berpura-pura tidak terluka setelah mengetahui kenyataan bahwa Herald. Orang yang Bianca anggap lebih-lebih dari keluarga sendiri justru dalang dari semua kesakitan yang Bianca rasakan.
Gerakkan Bianca memasukan pakaiannya ke dalam tas terhenti saat ia melihat pakaian yang dahulu pernah Herald belikan untuknya. Hati Bianca semakin hancur ketika mengingat bahwa selama bertahun-tahun Bianca selalu bersyukur atas keberadaan Herald di sisinya.
Bianca tidak memasukkan pakaian tersebut kedalam tasnya, Bianca tidak akan membawa barang-barang pemberian Herald kepadanya. Rasanya Bianca sangat sakit hati.
“Apa yang kau lakukan kenapa kau berkemas?”
Suara Lucius tiba-tiba saja terdengar, Lucius merebut tas milik Bianca. “Kau akan pindah sekarang? Kau mau kemana dalam keadaan seperti ini?”
Lucius menatap Bianca yang masih saja menangis, ekspresi Bianca datar namun air matanya terus mengalir. Pipi dan hidungnya memerah.
“Bisakah sehari saja kau tidak ikut campur dengan urusan ku Lucius? Aku butuh waktu sendiri sekarang ini, aku tidak ingin melihat wajah mu.” Bianca kembali merebut tas miliknya, ia mendorong Lucius agar keluar dari kamar ini. Namun sekuat apapun Bianca mendorong Lucius, Lucius tidak bergerak sedikitpun.
“Kau kecewa kepada Herald, tapi kenapa kau juga menolak ku?!” Lucius tidak terima Bianca menyuruhnya pergi, Lucius terburu-buru kemari menyusul Bianca karena khawatir dengan keadaan Bianca. Dan Bianca justru menyuruhnya pergi.
“Bukan hanya Herald yang mengecewakan ku Lucius, tapi semuanya. Semua di dunia ini mengecewakan ku! Kau pun sama, jika Herald pembunuh orang tua ku, Ayah mu lah otak dari semua itu! Baik kau, Herald, dan Ayah mu. Kalian sama saja di mata ku!” Bianca berteriak, ia emosi. Kekecewaannya tidak hanya meliputi satu orang saja namun banyak pihak.
“Kau tidak tahu apa-apa Bianca, kau hanya mendengar perdebatan orang lain dan menangisi hal itu. Aku tahu kau kecewa, tapi kenapa kau ingin mendorong ku menjauh, bukan kah kau mencintai ku? Kedekatan kita selama ini, ku pikir kita sudah sangat dekat. Mungkin kata cinta terlalu berlebihan, bukan kah kau menyukai ku?”
Bianca mendongak menatap Lucius, Bianca menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu Lucius.. aku tidak mengerti, aku tidak tahu apa itu cinta. Karena aku tumbuh tanpa hal itu, cinta dari orang tua saja yang seharusnya bisa ku rasakan direnggut dariku tanpa sempat aku ingat bagaimana rasanya. Cinta dan kasih sayang yang ku dapatkan dari Herald selama ini juga palsu. Aku tidak mengerti apa itu cinta, karena aku tidak pernah benar-benar merasakannya.”
Lucius terdiam, hatinya ikut teriris mendengar perkataan Bianca. Namun meski begitu, Lucius tidak akan pergi dan meninggalkan Bianca sendiri meskipun itu hal yang Bianca inginkan.
“Tidak masalah kau tidak mengerti cinta, yang pasti kau itu menyukai ku. Kau itu menyukai ku.” ucap Lucius tegas.
“Pergi Lucius, tinggalkan aku sendiri!”
“Tidak akan, kau pikir kau bisa mengatur ku? Aku tidak mau. Jika kau pikir kau itu keras kepala, maka aku lebih keras kepala lagi.” Lucius kembali merebut tas milik Bianca, “Kau tidak akan pergi kemana-mana tanpa diriku, sekarang ikut aku.”
Bianca mengelak, ia menepis tangan Lucius yang menariknya. “Aku tidak ingin pergi ke apartemen mu!”
“Aku tidak berniat membawa mu kesana, aku ingin membawa mu bertemu dengan Mama ku. Aku tidak tahu kalau hal ini akan membuat beban di hati mu menjadi ringan, tapi satu hal yang aku tahu. Mama ku mengenal Paman Asher, Ayah mu. Bukan karena Mama itu istri dari Papa ku, tapi karena Mama dulu bersahabat dekat dengan Ayah mu. Ku rasa kematian Paman Asher juga salah satu penyebab hubungan orang tua ku retak sampai sekarang.”
Kening Bianca berkerut, “Apa maksud mu?”
“Kau tahu, dulu Mama ku itu seorang sniper sama seperti Ayah mu. Dan yang ku ketahui dulu mereka bersahabat. Jika kau ingin tahu yang sebenarnya, kita bisa menemui Mama. Mama tidak akan pernah berbohong terlebih lagi menyangkut sahabatnya yang telah tiada.” Lucius mengulurkan tangannya kepada Bianca, “Jadi, apa sekarang kau mau ikut dengan ku bertemu Mama?”
Bianca sempat terdiam ragu, namun akhirnya Bianca mengangguk. Mustahil Lucius berbohong tentang hal ini. Lucius tidak akan berbuat jahat kepadanya, melihat sikap Lucius saja yang mati-matian berusaha untuk tetap berada disisinya membuat Bianca sadar bahwa dirinya ternyata punya tempat di hati Lucius.
Bianca menerima ajakan Lucius, Lucius menggandeng tangan Bianca. Mereka melangkah bersama keluar dari rumah bordil tersebut.
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Secret [END]
NezařaditelnéBianca punya rahasia besar yang ia sembunyikan rapat rapat, ini mengenai pekerjaan nya sebagai wanita penghibur disalah satu rumah bordil. Sialnya salah satu pelanggan rumah bordil tersebut ternyata kakak tingkat Bianca di kampus Atau lebih tepatny...