Dua puluh dua

308 29 19
                                    

***

Ara membuka pintu uks dengan perlahan Ara melihat Adit sedang duduk di kursi dekat ranjang Dinda dengan mata terpejam. Sedangkan Dinda terlihat masih memejamkan matanya mungkin pusing.

"Dit!" panggil Ara pelan.

Adit membuka matanya kaget karena kehadiran Ara. Karena terlalu panik dia sampai melupakan Ara. Kenapa gadis itu tidak ada disamping Dinda di saat seperti ini.

"Lo dari mana aja?" tanya Adit.

"Akuu-aku anu tadi  emm duduk di bawah pohon iya," jawab Ara gugup.

"Terus kenapa lo gak ada di deket Dinda? bukannya biasanya kalian selalu sama-sama? terus kenapa lo gak cegah Dinda buat kelapangan basket? lo tau kan itu bahaya?" ujar Adit.

Tidak ada nada marah dalam ucapannya bahkan terdengar dingin pun tidak, jangan kalian berpikir bahwa Adit marah kepada Ara. Pria itu tidak akan tega berbicara kasar pada gadis cantik ini. Tetapi tetap saja rasanya tidak enak saat Adit terus bertanya seolah memojokkannya bahkan belum sempat untuk di jawab.

"Maaf!" cicit Ara.

Hanya itu yang bisa dia jawab sekarang dia tidak ingin mengatakan bahwa dirinya juga terkena bola tadi, dia tidak ingin manambah ke khawatiran Adit.

"Lo tau kan Ra kalo bola basket itu keras banget?"

"Ak-ku- aku-maaf!"

Ara tidak tau harus berbciara apa lagi, rasanya sedih saat sahabat yang dulu selalu membelanya kini bersikap seakan menyalahkannya. Dulu Adit hanya perhatian padanya tapi sekarang semuanya sudah terbagi, jujur saja ada setitik rasa tidak rela saat sedikit demi sedikit sekarang dia mulai kehilangan perhatian penuh Adit. Sungguh sedari kecil Ara tidak terbiasa untuk berbagi.

"Hurff!"

Adit menghela nafasnya dia paling tidak bisa saat melihat Ara sudah sedih seperti ini. Pria itu sangat lemah mendengar nada lirih yang di keluarkan Ara. Sudah bisa kalian bayangkan bukan bagaimana sayangnya Adit terhadap Ara.

"Maaf-Adit jangan marah! tadi aku juga kena bola," adu Ara. Akhirnya gadis itu memilih jujur takut jika nanti Adit akan marah kalau dia berbohong.

"Lo?"

"Iy-iyaa walaupun cuman bola voli sih," tambahnya dengan kepala tertunduk.

Adit menghela nafasnya, pria itu memegang dagu Ara menegakkan kepala gadis itu. Diusapnya dengan pelan pipi Ara yang sedikit merah, tadi dia tidak terlalu memperhatikan wajah Ara sampai tidak sadar kalau pipi gadis itu sedikit memerah.

"Masih sakit?"

"Udah enggak kok."

Adit membawa Ara kedalam dekapannya. Ara merasa nyaman saat tangan besar Adit mengelus belakang kepalanya dengan lembut. Ara selalu merasa nyaman dalam dekapan pria yang sedari kecil bersamanya itu, Ara menghirup parfum yang sedari dulu menenangkannya.

Sanggup kah dia jika nanti Adit harus menjadi milik orang lain? Bisakah Ara ikhlas jika memang Adit memutuskan untuk bersama gadis lain dan mulai melupkan Ara. Sedari kecil Ara sudah terbiasa untuk bergantung pada pria di depannya ini.

"Maaf! gue bener-bener gak tau soal ini. Maaf juga karena udah tinggalin lo dan nyerang lo dengan pertanyaan gue!"

Ara hanya menaggapinya dengan senyuman.

"Ehm!" deheman Dinda membuat Adit dan Ara langsung menghadap gadis itu.

"Kamu gapapa Din?" tanya Ara.

"Santai," balas Dinda.

"Ayo pulang!" ajak Dinda yang di angguki oleh Adit dan Ara.

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran, sekolah sudah mulai sepi karena ini sudah lumayan sore.
Dinda masuk duluan kedalam mobil atas perintah Adit.

ArasellyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang