Terlihat di mata Raka gadis yang tengah duduk di bangku taman seraya memandang kosong ke arah bintang-bintang. Lelaki itu mulai berjalan sepelan mungkin agar gadis tersebut tak menyadari kehadirannya.
"Pakai jaket ini biar nggak masuk angin." Tampaknya gadis itu terkejut bisa dilihat dari matanya yang memelototi hoddie yang Raka ulurkan padanya.
"Pake, Ra. Jangan cuman diliatin," tegur Raka mengingatkan Tara yang masih saja diam tak merespon.
"Makasih, gue nggak dingin." Tara beranjak dari duduk kemudian berjalan tanpa menerima bantuan dari Raka. Sebenarnya, Tara merasa kedinginan lihat saja lututnya mulai bergetar, akan tetapi gadis itu tak ingin berhubungan dengan siapa-siapa untuk saat ini.
"Maafin gue karena gue salah satu alasan Agra ngakhiri semuanya."
Tara menghentikan langkah tanpa menoleh. Ia mengembuskan napas kasar sepertinya lelaki itu salah paham.
Raka berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Tara yang menatapnya datar. "Gue memang bukan Agra. Gue cuman laki-laki yang berharap bisa nemenin lo di saat-saat seperti ini, jadi tolong hargai usaha gue."
"Maaf, Kak, ini nggak ada hubungannya dengan dia. Lagian sendiri udah biasa buat gue."
"Gue tahu, Ra. Tapi sekarang keadaannya berbeda, lo sakit."
Tara tertawa pelan sembari menepuk bahu Raka. "Gue udah sembuh kali, perban ini bakal gue lepas besok." Gadis itu meraba pelan keningnya menunjukkan pemberian terakhir sang ayah.
"Udah. Bokap udah ceritain semuanya, lo nggak perlu nutupin lagi, gue bakal jaga rahasia lo tapi ada syaratnya."
Tara menatap pasrah ke arah lelaki di hadapannya. Ia tahu Raka pasti bisa menjaga rahasia walau tak gratis.
Raka menarik kedua sudut bibir hingga membentuk seulas lekukan, lelaki itu menarik tangan Tara kemudian mendekapnya erat." Syarat pertama, gue pengen seperti ini selama 10 detik."
Tara terjengkat, gadis itu melebarkan mata. Namun, ia memilih diam tanpa membalas pelukan dari Raka.
Hangat, itulah yang dirasakan. Aroma maskulin yang digunakan Raka menyeruak menembus indera penciuman Tara menambah kesan nyaman bagi siapa saja yang menghirupnya. Pelukan hangat itu mengingatkannya pada Arka."Kayaknya lo ketagihan," ujar Raka terkekeh pelan seraya melepaskan pelukan. "Maaf lancang, anggap itu pelukan seorang Abang ke adeknya."
"Tidak menerima maaf, gue bakal lapor sama Raffael," ancam Tara memalingkan wajah, ia berniat menakuti Raka. Dugaannya salah, lelaki itu malah tersenyum jahil.
"Laporin sana. Gue juga punya laporan penting buat dia."
"Curang! Udah ah. Ngambek gue!"
"Terserah! Gue mau pulang, lo disini aja nungguin taksi sampai tubuh lo berubah jadi es, bye!"
Lelaki itu berjalan lurus tanpa memperdulikan Tara yang terus saja mengoceh tak terima diperlakukan seperti tahanan.
"Bangsat! Tungguin gue, setan!"
----
Naya sibuk memainkan handphone tanpa memperdulikan Fian dan ibunya yang sedari tadi menatapnya.
"Nay, akhir-akhir ini kok lo jarang banget ngumpul sama kita? Ada masalah? Apa lo nggak suka konsep ulang tahun lo kali ini?" tanya Fian lembut.
"Iya, Sayang. Cerita sama Mama ada masalah apa?" Seina akhirnya membuka suara, ia juga tak tahan dengan perilaku Naya yang tiba-tiba berubah.
Gadis itu meletakkan benda pipih miliknya di meja kemudian melemparkan tatapan datar ke arah ibu dan kakaknya. "Nggak ada, ngapain ngumpul kita, 'kan, nggak lengkap sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara [END]
Teen FictionAttara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam jurang kehancuran, yang di buat oleh keluarganya sendiri. Bertahun-tahun ia hidup dalam kesakitan b...