50

5.6K 321 31
                                    

"Agra," panggil Tara pada lelaki yang sibuk mengusap-usap keningnya.

'sial! Ketahuan gue,' umpat Agra dalam batinnya.

"Sorry salah ruangan," elak Agra. Lelaki itu masih saja enggan menatap Tara. Alasan sesungguhnya bukan karena benci. Melainkan fakta yang dipercayainya mengenai Tara di masa lalu tidak ingin masuk di hatinya.

"Salah ruangan katanya, Dry. Tapi kok betah yah berdiri di depan pintu selama beberapa menit. Gue yang goblok atau dia yang bohong, sih?" sindir Meysha tertawa renyah.

"Lupa kali jalan rumah sakitnya sendiri," sambung Aundry. Kedua gadis itu tahu bahwa Agra berniat menjenguk sahabatnya tapi lelaki itu terus saja mengelak.

"Ngapain nguping omongan cewek kayak dia? nggak ada manfaat. Nggak usah terkejut dia ada di sini sekarang, mungkin itu karmanya."

"Diam lo, Agra!" bentak Meysha. Omongan lelaki itu bisa saja melukai hati sahabatnya.

"Apa? Jadi gue salah? Okey, gue maklumin lo, 'kan, sahabatnya dia. Nanti lo juga bakal sadar kalau selama ini lo berteman sama PEMBUNUH," ujar Agra menekankan kata terakhirnya. Sungguh apa lelaki itu tidak merasa bahwa ucapannya telah melewati batas?

"Diam lo, Monyet! Lo pikir lo siapa yang bisa mengklaim orang seenaknya? Asal lo tau, gue sama Meysha nggak akan pernah nyesel temenan sama Tara karena rasa percaya kita lebih besar daripada gosip di luar sana, nggak kayak lo ngakunya cinta tapi nggak punya rasa percaya dengan cinta itu. Pulang, deh, belajar dulu sana!" geram Aundry. Jika saja Tara tidak mengisyaratkannya untuk diam, mungkin Agra akan pulang dengan muka babak belur.

"Makasih, walaupun salah ruangan. Lo bisa pulang sekarang," pinta Tara dengan suara yang tidak mengandung kemarahan.

Agra melirik tajam Meysha dan Aundry sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan tersebut.

"Tara! Kenapa, sih?!" tanya Meysha yang kini menatap tajam ke arah gadis pucat itu.

Seolah tahu maksud dari tatapan itu. Tara mengembuskan napas panjang sebelum menjawabnya. "Gue nggak belain siapa-siapa."

"Udah, ah. Males gue!" keluh Meysha sembari mendaratkan paksa bokongnya di sofa rumah sakit, diekori oleh Aundry.

----

Pertama kalinya bagi Tara menatap seluruh bagian tubuh yang terbalut seragam sekolah.

"Lakuin yang bermanfaat, aja. Waktu sangat berharga sekarang," ujar gadis tersebut pada diri sendiri. Perban masih menjadi hiasan di kening, sejujurnya ia merasa tak nyaman dengan hal itu, tetapi ia takut akan berakibat buruk jika nekad membukanya.

Gadis itu kemudian menguncir asal-asalan rambut lalu berlari keluar menuruni anakan tangga.

"Eh, ratu kok bantalnya nggak dibawa?" tegur lelaki di sela-sela acara mengunyahnya.

"Udah ah. Bertengkarnya nanti, aja."

"Tumben?" tanya Raffael keheranan. Biasanya Tara tidak akan pernah menyerah sebelum lawan bicaranya diam tak berkutik.

"Males aja."

"Eh, Tara. Udah bangun, Sayang?" sapa Rena—ibu Raffael.

"Udah siap malah," jawab Tara tersenyum lebar.

"Oh, yah, Tan. Tara suapin, yah." Gadis itu melayangkan satu sendok nasi goreng ke arah wanita setengah baya yang bahkan belum sempat membalas ucapannya. "Lo juga, yah," pinta gadis itu pada lelaki di sampingnya.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang