0.5

6.8K 533 48
                                    

Tak seperti biasanya, pagi ini Tara bangun lebih awal dari jam weker kesayangannya. Tentu saja Tara bangun lebih awal toh dia tidak tidur semalaman ada sesuatu yang mengganjal pikirannya mungkin sudah bisa ditebak apa penyebabnya.

"Gue bangun lebih awal dari lo," ucap Tara meraih jam weker yang terletak di atas meja nakasnya kemudian kembali mengatur alarm untuk esok hari.

Tidak seperti keluarga lain, bahwa setiap pagi seorang ibu akan mengetuk pintu anak-anaknya hanya sekedar untuk membangunkan agar tidak telat ke sekolah. Lain halnya dengan yang Tara alami dari kecil hingga sekarang, jangankan dibangunkan oleh ibunya, melihat ke arah kamarnya pun tidak pernah, ibunya hanya melakukan hal demikian kepada kedua kakaknya dan melewati kamar Tara begitu saja. Kiasan kenangan indah di masa lalu kembali masuk memenuhi otaknya, saat di mana sang ibu selalu setia mengusap lembut keningnya setiap pagi, kenangan yang berusaha gadis itu hilangkan dari hidupnya. Dengan mengingat kembali hanya menorehkan luka di hati saja.

Gadis itu mengusap lembut perut yang sedari tadi terus menabuh gendang.  "laper banget lagi, 'kan, dari kemarin gue nggak makan. Kalo gue turun dan ketemu sama nyokap atau bokap, pasti mereka bakalan nggak mood buat sarapan, terus gimana, yah?" jika sedang berpikir gadis itu menatap ke arah langit-langit kamar, biasanya setelah melakukan hal itu otaknya akan seencer air.

Tok! Tok! Tok!

"Non, bangun ini udah pagi!" pinta bik Marwan di balik pintu bercat hitam tersebut.

Tara membuang nafas pelan, apa bibinya itu tidak pernah bosan mengetuk pintu kamarnya setiap pagi? "Bibi tolong bawain sarapan ke kamar Tara, yah!" sahut gadis itu dari dalam kamar.

"Baik, Non." wanita paruh baya itu melangkah menuju dapur mengambil nasi goreng yang selalu ia sisihkan untuk anak bungsu majikannya, ia berharap Tara merasa bahwa masih ada orang rumah yang memperdulikannya.

"Bibi, mau bawa ke mana, tuh, sarapan? Di sini, 'kan, sudah ada Fian dan Naya?" tanya Seina sebenarnya di dalam lubuk hati kecilnya ia sudah tahu untuk siapa sarapan tersebut.

"anu, nyonya ini bu—"

"Itu buat Tara, Ma, soalnya kalo dia gabung sama kita nanti nafsu makan kalian jadi hilang." gadis itu meletakkan sendok makan di atas piring. "Bi, sini nampannya biar Naya aja yang bawain buat Tara, Bibi lanjutin kerjaan, yah." Naya lalu mengambil alih nampan tersebut terukir senyum hangat di bibirnya saat menatap benda apa yang ditetengnya.

"Naya, kamu nggak usah bawain sarapan buat dia, dia itu punya kaki buat jalan," tahan Seina sembari menuangkan susu ke masing-masing gelas yang terletak di meja makan.

"Duduk sekarang!" kali ini Arka membuka suara.

"Ma, Pa, Tara itu adik aku, aku nggak mungkin diam aja liat dia kelaparan, jadi maaf kali ini aku nggak bisa mematuhi perintah kalian." Naya berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

"Udah, Ma, Pa, iyain aja," lanjut Fian mencoba mendinginkan suasana.

"Fian apa maksudmu?! bagaimana jika terjadi sesuatu kepada Naya?!" Seina menatap tajam ke arah Fian.

"Ma, aku itu nggak belain Tara, aku cuman nggak mau Naya sedih karena kita terlalu ngekang dia." Fian menarik nafas kasar, ibu dan ayahnya terlalu berlebihan jika Tara memang berniat mencelakai Naya, gadis itu pasti sudah melakukannya dari dulu melihat kamar mereka yang berhadapan.

'Awas, yah, kamu anak pembunuh, saya tidak akan membiarkan kamu menghasut anak-anak saya,' batin Seina.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang