0.4

7.4K 604 71
                                    

Happy reading!

Diam selalu menjadi pilihan terakhir saat kita terlalu salah di mata dunia

----

Istana berwarna dominan putih dengan gerbang hitam mengkilat sebagai ciri khas yang hanya dimiliki oleh satu rumah di komplek mayoritas pebisnis itu sudah tertangkap mata. Tara menyeret kedua kaki dengan sorot tak berselera memasuki rumah mewah kediamannya. Sebagian orang mengatakan bahwa rumah adalah surga, tetapi baginya rumah terlampau tak pantas menyandang gelar seindah itu. Meski dari luar semua orang akan berpikir rumah Ganendralah tempat terbaik untuk melepas lelah dan bersenang-senang. Sudah besar, tentram, dan penghuninya pasti tak akan pernah merasakan gerah ataupun kesempitan kendati pun banyak pelayan. Namun, Tara berpikir bangunan tersebut hanyalah neraka karena ia sama sekai tidak pernah merasakan apa itu kehidupan, bahagia, dan kasih sayang. Yang ia tempuh hanya kesakitan baik fiksi maupun batin.

"Sini kamu!" seru Seina dengan mata menatap tajam ke arah Tara seolah di dalamnya terpancar kemarahan yang begitu besar.
Entah apa yang akan dilakukan wanita paruh baya itu kepada anak bungsunya.

Plak!

Tamparan lagi, hari ini gadis itu dipuaskan dengan perlakuan tersebut, baik yang di dapat dari Vandra, Kania, Fian, dan sekarang ibunya sendiri. Perih, tapi seluruh sakitnya malah terasa di hati saja.

"Berani-beraninya kamu melukai anak saya!" bentakan keras keluar dari mulut Seina membuat Tara sedikit tersentak ke belakang.

'Tara juga terluka, Ma, bahkan jauh lebih sakit dari apa yang kak Naya rasain. Aku juga pengen ada diposisi Kak Naya dikhawatirin sama Mama.'  Tara mulai menyisihkan harapan dalam hati, walau ia tahu yang dipintanya sungguh mustahil untuk terjadi.

gadis itu tetap berusaha bersikap biasa saja untuk mempertahankan benteng ketegaran. "Nggak sengaja," ungkap Tara singkat tanpa menatap wajah ibunya yang berubah menakutkan.

"Jangan bohong kamu, Fian sudah menceritakan semua yang kamu lakukan di sekolah hari ini!" setelah Seina terdiam suaminya menggantikan posisi menyalahkan anak tidak bersalah itu.

"Oh, bagus, deh, kalo kalian sudah tahu, jadi saya tidak perlu capek-capek menjelaskannya. Lagi pula saya yakin tidak ada yang akan mempercayai omongan saya." Tara menyilangkan kedua tangan di depan dada, Santai sekali. "Anak kalian saja yang terlalu lemah!" pekik Tara menatap sekilas orang yang sedang dibela mati-matian oleh orangtuanya, tetapi dirinya tidak bisa menyalahkan sang kakak. Kejadian ini sudah biasa ia alami, hari ini ia hanya perlu menyiapkan hati yang lebih kuat untuk menerima perlakuan dua orang yang harusnya bertindak sebagai penasehat bukan penuntut tanpa dukungan.

"Tara! Lo harus sopan sama keluarga sendiri!" Fian lelaki yang berperan selaku mata-mata dalam hidup Tara ikut menyudutkan sang adik. Semua perihal yang dilakukan Tara pasti akan  dilaporkan kepada ayah dan ibunya.

"Wow!" gadis itu malah  bertepuk tangan, ekspresi terkejut terpampang jelas di wajahnya. "Sopan? Apa kalian pernah mengajarkan saya apa maksud dari kata itu? Seingat saya tidak pernah dan satu lagi, keluarga? Sejak kapan Kak Fian nganggap gue keluarga? Oh ... gue tau lo sakit, yah, sampai ngomong yang ngaco gitu?" ungkapan Tara sukses membuat Fian kehabisan kata-kata. Memang benar Tara belajar perihal sopan dan tata krama dari orang lain bukan dari keluarganya, jika gadis itu meniru perlakuan keluarganya, mungkin dirinya akan menjelma menjadi gadis yang jauh berbeda dari dirinya sekarang. Mungkin bisa dibilang, lebih buruk lagi.

"Jaga omongan kamu anak pembangkang!" teriak Arka tepat di depan wajah Tara. Ini adalah saat yang tepat agar Tara menyiapkan topangan yang kuat untuk mendengar segalanya, tetapi gadis itu sudah telanjur rapuh sampai baru hinaan yang dilontarkan, ia sudah merasa pertahanannya sebentar lagi akan roboh.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang