0.1

11.8K 798 101
                                    

Hallo, everyone!
Apa kabar? Aku mau bawa sebuah informasi semoga aja nggak ketunda sama mood. Jadi kemungkinan dalam waktu dekat ini aku bakal kembali dengan cerita baru yang semoga aja bisa memuaskan kalian semua. Maka dari itu terus pantau lapak aku, jangan sampai ketinggalan -A

Happy reading!


Bahagia maupun kecewa hidup beriringan. Tak jarang penyebab hadirnya juga datang dari yang paling dekat

----

Rembulan beserta para dayang-dayang yang menemani sunyinya atas harap bertemu sang surya kini tak terlihat diambil alih oleh mentari yang disambut kicauan burung menjadi melodi indah yang menemani sunyinya kota Jakarta. Angin-angin kecil sengaja dibiarkan menerpa wajah karena ia hanya ingin menemui tenang.

Tara—gadis yang memiliki kebiasaan berbicara dengan benda mati yang ia tahu tidak akan pernah membalas ucapannya. Menurutnya, mereka sama dengan orang-orang yang disebut 'keluarga' ada tapi teracuhkan.

Setelah puas menghirup segarnya udara pagi, Tara yang sudah membaluti tubuh dengan seragam yang tidak pernah rapi memutuskan untuk menutup pintu balkon hingga menampakkan kamar suram nan hampa miliknya.

Ia berjalan keluar kamar tak lupa menutup pintu dan menguncinya. Gadis itu sedikit tergesa-gesa berjalan menuruni tangga satu-persatu, matanya tidak lepas menatap jam bundar berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, gadis itu akan berhenti melangkah saat mencapai undakan tangga terakhir. Rasa sesak kembali menggerogoti relung, telinga memanas mendengar tawa bahagia keluarga, sedih karena tak dapat bergabung  dan senang karena melihat senyum lebar dari kedua orang tuanya.

Tara mutuskan untuk mempercepat langkah menuju pintu, selalu saja begini pergi tanpa pamit. Karena ia tahu saat melakukan hal itu ia hanya akan mendapat caci-makian, bentakan, bahkan hinaan yang tidak pantas untuk didengar telinga.

"Ra, sini sarapan bareng!" ajak gadis yang tidak lain adalah anak tengah dari keluarga besar Ganendra. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas menampilkan senyum manis ke arah orang yang dipanggilnya.

Gadis 16 tahun itu menghentikan langkah. Kemudian mengarahkan pandangan kepada seseorang yang memanggil namanya.

"Ngapain sih kamu ngajakin dia buat bareng ama kita?" Wanita setengah baya yang duduk berhadapan dengan Naya memutar bola mata jengah, kekesalan jelas terpampang di wajah putih tanpa kerutan miliknya.

"Tau tuh Naya, bikin nafsu makan gue hilang aja!" ketus Fian dengan tatapan tajam yang mengarah pada adik bungsunya, dirinya merupakan putra sulung dari keluarga Ganendra.

"Sudah, lanjutkan makan kalian!" perintah Arka lantas meletakkan sendok yang digenggamnya dengan kasar.

Pria dengan gaya formalnya beralih memandang Tara yang mulai menghitung detik kapan semburan api pemicu luka itu keluar.

"Bisa tidak jangan mengganggu sarapan kami pagi ini! kehadiran kamu hanya akan membuat sarapan pagi kami hancur! dasar anak tidak tahu diri!"

"Papah ....," cicit Naya menatap Arka seolah memohon untuk menghentikan makian terhadap adiknya.

Tara tertunduk sendu menatap ujung sepatunya rasa perih yang sama kembali menjalar masuk ke hati. "Maafkan saya. Teruntuk lo Kak Naya, gue hargai perhatian lo, tapi gue minta jangan pernah ngajak gue sarapan bareng, lo pasti tau apa akibatnya. Nggak usah perduliin gue, mending lo mikir cara ngebuat suasana harmonis keluarga ini kembali lagi!" gadis itu menatap keluarganya dengan sorotan terluka sebelum akhirnya berjalan pergi meninggalkan keluarga yang hanya menganggapnya sebagai bakteri. Cairan bening yang berusaha ditahan kini mengalir tanpa permisi memenuhi pipi, tangis yang selalu ia tumpahkan saat tidak ada orang yang melihatnya.

"Apa gue seburuk itu di mata kalian?" lirih Tara, gadis itu menghapus kasar bulir-bulir kristal bening yang belum kering di pelupuk matanya, dengan segera ia menancapkan gas motor v-xion miliknya meninggalkan tempat yang dijuluki surga bagi orang-orang tapi neraka baginya.

"Yang papah katakan sama Tara itu keterlaluan!" bentak Naya. Selama ini ia selalu bungkam dengan perlakuan kedua orang tuanya terhadap Tara.

"Sejak kapan kamu mulai peduli padanya, kamu lupa apa yang dia lakuin sama adik kamu?" balas Seina menatap putrinya tidak percaya.

"Mungkin ... Naya termakan hasutan pembunuh itu, Ma," tuduh Fian yang kini telah menghabiskan sarapannya dan bersiap untuk berangkat ke sekolahnya.

Naya menghela nafas panjang. "Udah ngomongnya? aku capek tau liat sikap kalian. Kalian tau yang merusak suasana itu bukan Tara tapi kalian sendiri tau nggak!! tidak bisakah kalian mene—"

"Ma, Pa, Fian pamit dulu," sela Fian seolah tahu apa yang akan dikatakan Naya selanjutnya. Ia pun meraih tas kemudian mencium punggung  tangan kedua orang tuanya secara bergantian. Lelaki itu menoleh sekilas pada Naya lalu melenggang pergi begitu saja.

"Lo selalu aja ngehalangin gue saat berusaha ngebela adik kita, gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo itu. Lo yang nggak tahu diri Fian!" batin Naya, ia menatap tajam ke arah Fian di iringin dengan dengusan kecil yang keluar dari mulutnya.

"Ya udah, Ma, Pa, Naya juga pamit," ucap Naya sambil mencium kedua tangan orang tuanya sama seperti yang dilakukan kakaknya tadi, dirinya berlari kecil menyusul Fian menyisakan pasangan yang tidak pernah menganggap kehadiran anak bungsunya itu.

"Ya udah, Sayang, aku juga pamit Ke Kantor yah." Sebelum berangkat, sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mencium kening sang istri tercinta.

"Kamu hati hati yah, Mas, di jalan!" balas Seina sembari memberikan tas hitam yang berisi laptop dan berkas-berkas penting. Sama seperti Arka, Seina juga tidak pernah lupa untuk mencium tangan lelaki teman hidupnya.

—————


Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang