45

5K 301 24
                                    

Di kediaman Mahardika, Lita tengah menyendokkan makanan ke piring suami dan kedua putranya, kebiasaan yang selalu diterapkan setiap pagi.

"Oh, yah, Gra. Kenapa calon mantu bunda nggak pernah kamu bawa ke sini, lagi?" tanya Lita yang kini duduk di kursi makan dekat suaminya

Agra memilih diam. Selain itu, ia juga tak tahu harus menjawab apa dan ia pun tak ingin sang ibu tahu yang sebenarnya.

"Udah putus, Bun," jawab Raka yang langsung mendapat sorotan tajam dari sosok di sampingnya.

"Hah? Apa iya? Kapan?!" tanya Vano dan Lita kebersamaan, sepasang suami istri itu sampai menghentikan aktivitas makan hanya karena ingin mendengar penjelasan pasti tentang hubungan anak bungsunya.

"Kemarin dengan alasan cuman PELAMPIASAN," jawab Raka lagi sengaja menekankan kata terakhirnya.

"Apa itu benar Agra? Bunda nggak habis pikir bisa-bisanya kamu mempermainkan anak orang, Bunda nggak setuju kamu putus sama Tara!" protes Lita yang diangguki setuju oleh Vano.

"Bunda sama Ayah harus setuju, Agra nggak bisa balik lagi sama dia."

Raka terkekeh mendengar ucapan adiknya. "Yaiyalah, kalo lo mau pun gue yakin Tara nggak bakal mau apalagi dia udah tahu kalo dia cuman di jadian pelampiasan. Gue juga nggak yakin kalo Tara cuman pelampiasan buktinya lo sampe nonjok gue hanya karena cemburu."

"Diam lo, keselek baru tau rasa!" ketus Agra menginjak keras kaki sang kakak.

"Padahal Bunda kangen banget sama Tara," ujar Lita sedih.

"Hey, Bun, nggak usah sedih Raka bakal bawa Tara ke sini, lagian sekarang aku bebas ngedeketin dia karena dia bukan milik siapa-siapa lagi." Raka melirik Agra yang tengah meneguk segelas jus jeruk kesukaannya.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

"Pelan-pelan, Sayang," ujar Lita menyodorkan tisu ke arah putra bungsunya.

"Karma tuh." Raka malah meledek Agra yang menepuk-nepuk dadanya. "Oh, yah, aku pamit dulu. Gra, jangan nyesel ngelepasin cewek sebaik dan sesetia Tara karena lo nggak akan pernah bisa milikin dia lagi. Gue nggak akan biarin itu,"  peringatnya sebelum berlalu meninggalkan ruangan.

Di tempat lain, Tara kini sudah siap dengan seragam dan earphone yang melingkar di leher. Saat ini ia berjalan menuruni tangga, ia bisa melihat tatapan tidak suka dari kedua orangtua hingga membuat batinnya tersakiti setiap hari.

Dengan segera ia memalingkan wajah ke arah lain, hari ini Naya tidak bisa memasangkan dasi untuknya karena sang kakak masih sibuk membersihkan diri di kamar mandi.

Saat sampai di ambang pintu, Tara bisa melihat seorang lelaki yang duduk di sebuah motor KLX berwarna hijau putih dengan helm yang masih menutupi kepala.

Ia sedikit berlari menghampiri lelaki tersebut. "Agra?"

Lelaki tersebut menoleh kemudian membuka kaca helm fullface yang menutupi wajah. "Gue bukan Agra, gue Raka."

Napas berat terembus di bibir penuh itu. "Nngapain kakak ke sini?" tanya Tara melirik ke kiri dan ke kanan.

"Buat nganterin lo ke sekolah, Raffael yang nyuruh."

"Makasih, nggak usah repot-repot, gue naik angkot aja."

"Lo nolak gue karena gue bukan Agra, 'kan?"

Tara dengan cepat menggelengkan kepala tak enak. "Bukan gitu, Kak."

"Ya udah, bareng gue aja lo tega ngusir gue yang udah jauh-jauh ke sini?"

Tara mendengkus pasrah. "Iya-iya, kita bareng deh."

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang