35

4.3K 283 6
                                    

Tara terduduk di pertengahan tangga dengan kepala menyela diantara pilar-pilar. Ia berniat mendengar perbincangan keluarga tanpa ada tujuan mengganggu dengan menampakkan diri.
Ia sudah bersusah payah masuk dengan cara mengendap-ngendap seperti pencuri padahal itu rumahnya sendiri.

"Tinggal beberapa hari lagi, Tiara anak kita akan berumur tujuh belas tahun. Tapi itu cuman angan-angan, putriku sudah tenang di alam sana," rintih Seina tertunduk hingga saat wajah polos itu teringat ia tak bisa untuk tidak menitihkan air mata.

Arka mengusap pundak istrinya lembut guna untuk menyalurkan kekuatan. "Sayang ... kita kan bisa rayain hari itu tanpa adanya Tiara, kita semua bisa mewakili dia. Kan hari itu juga hari pernikahan kita."

"Iya, Ma. Fian setuju sama Papa, kita berempat bakalan rayain ulangtahun Tiara di sini. Pasti seru!"

"Setelah itu, kita ke rumah Tiara yang sekarang, Papa rasa kita semua udah lama nggak ke sana." Arka mencoba berperang dengan pikirannya yang memaksa mengingat masa lalu kelam yang terjadi pada putri ketiganya.

"Tapi Tara masih hidup, kalian lupa mereka itu kembar. Jadi Tara juga ulangtahun di hari yang sama." Naya mulai membuka suara, ia muak dengan perbincangan keluarga yang seakan-akan berusaha menyingkirkan adiknya.

"Bagi Mama, anak itu sudah mati. Mama nggak perduli, yang Mama tahu hari itu cuman hari pernikahan Mama dan ulangtahun adik kamu," bantah Seina.

"Ma! Tara adik aku belum mati! Dia masih hidup dan ada di antara kita, Mamah harusnya lebih tahu itu dari aku!" bentak Naya ia benar-benar tidak sanggup menahan emosinya.

"Naya! Karena anak itu kamu berani neriakkin mama kamu?!" Arka mendesah pelan. "Selalu saja anak itu! Gemar sekali dia menghancurkan semuanya. Ada atau nggak ada, Papa nggak perduli. Sekarang hanya kalian anak Papa!"

Fian tidak berniat membuka suara, sepertinya lelaki itu lebih nyaman untuk menyimak perdebatan keluarganya.

Naya menghela napas kasar, ia berusaha menelan kemarahannya. "Papa, Mama, kalian sama aja, sama-sama nggak punya hati! bagaimana kalo Tara dengar apa yang kalian ucapkan?!"

"Lebih bagus lagi jika anak itu dengar, biar dia tahu apa posisinya di keluarga ini," ujar Seina yang juga mulai tersulut emosi.

"Tara sudah dari dulu sadar akan posisinya dan kalian sudah membunuh keceriaan hidup adik Naya, entah cara apalagi yang harus aku lakukan supaya mata kalian terbuka?! Apa kalian tunggu Tara yang ninggalin kita semua, hah?!"

Ucapan Naya sukses membuat keluarganya terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya Arka kembali melontarkan kata-kata.

"Papa sudah bilang, ada atau tidak anak itu, Papah tidak perduli karena dia bukan anak Papa! Dia nggak pantas untuk status itu!" Arka meninggikan suara tanpa peduli akan mengundang beberapa pasang telinga.

Naya tertawa hambar. "Ya ... Naya lupa, kalian sangat mendambakan Tara pergi jauh dari kita. Aku muak dengan sikap Mama sama Papa, Naya hanya berharap suatu saat tangan kalian masih bisa meraih Tara ke dalam pelukan dan bisa memanggilnya dengan namanya sendiri." Naya mulai meredakan suara, dia benar-benar lelah berdebat dengan kedua orangtuanya yang merasa tak pernah salah.

Sementara di atas tangga, seorang gadis menutup mulut dengan punggung tangan membiarkan cairan kerapuhan jatuh tanpa jejak. Perih memasuki relung benar-benar seperti tertusuk pisau sangat dalam dan berkali-kali. Harapan tidak sesuai yang dibayangkan, ia benar-benar bodoh dengan berpikir keluarganya akan memandang dirinya di hari spesial nanti, nyatanya itu hanya angan-angan belaka yang terlintas di benak.

Perdebatan lagi-lagi terjadi karena sang kakak memperjuangkan namanya di depan keluarga. Tara berusaha bangkit berjalan menuju kamar, tapi sakit di hati membuatnya tak sanggup menopang tubuh sampai kembali terduduk menangis tanpa suara.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang