49

4.7K 303 27
                                    

Samar-samar Tara mendengar suara tangisan yang begitu pilu. mungkin saja itu suara dari penghuni kamar setelahnya. Bukan, tangis itu dekat dengannya.

Hiks ... Hiks ... Hiks ....

"Sial, berisik banget, sih!" umpat Tara masih dengan mata tertutup. Bukannya diam, tangisan itu malah menjadi-jadi membuat sang empu yang belum sempat tertidur nyenyak merasa kesal.

Perlahan Tara membuka netra kemudian melirik tepat ke sumber suara.

"Lo?!" tanya Tara matanya melotot tak percaya hingga tanpa sadar dirinya merubah posisi.

"Pasti sakit banget, 'kan, Ra?" tanya gadis pucat yang kini menatapnya lekat. Kalimat tersebut terdengar pilu di telinga Tara hingga menghipnotisnya untuk ikut menitihkan air mata.

"Aku datang bukan untuk ngeliat kamu nangis," ujar gadis itu seraya menyeka air bening yang lolos dari mata Tara.

"Tiara ...," lirih Tara lemah.

"Senyum untuk aku," pinta gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Tiara kembarannya.

"Gue tau ini nggak nyata, tapi gue minta lo tetap di sini, yah, temenin gue."

Tiara menggeleng kemudian mendekap erat seraya mengusap-usap puncuk kepala adiknya. "Aku nggak pernah ninggalin kamu, Tara."

Tara tertawa pelan menanggapi ucapan kakaknya. "Semua ini nggak akan terjadi seandainya lo nggak ninggalin gue. Udahlah, semua udah lewat."

"Kamu benci sama mereka?" tanya Tiara sembari melepas pelukannya.

"Nggak sampai benci, kok. Gue lebih benci sama lo, lo ninggalin gue jauh sebelum mereka," jawab Tara tersenyum palsu.

"Maafin aku, semuanya akan segera berakhir selama kamu sabar. Jangan pernah benci mereka, Tara," pesan Tiara yang kemudian mengecup lembut kening sang adik sebelum akhirnya menghilang.

"Tiara! Jangan tinggalin gue!" histeris Tara, kedua matanya terbuka lebar, dadanya naik turun berusaha mengatur napas. Keringat mengalir deras membasahi pipinya.

"Hey, lo kenapa?" tanya pria yang duduk di samping brankarnya. Keterkejutan menghias wajah tampannya.

"Se–semuanya ning–galin gu–gue," ujar Tara terisak-isak.

"Hush ... gue di sini." Raffael mendekap erat Tara berusaha menyalurkan kekuatan. "Jangan ditahan, Dek. Telinga gue siap dengerin semunya."

Hiks ...hiks ... "Tiara ninggalin gue, Kak. Apa mungkin dia sakit hati, gue cuman ngeluarin unek-unek gue dan nggak ada maksud nyakitin dia! Gue jahat. Gue juga ngebuat papa kesakitan keluarga gue pasti sedih sekarang!" ringis Tara memukul-mukul dada tempatnya tersandar sekarang.

Raffael terdiam menyimak semua perkataan yang keluar dari mulut adiknya, ia merasa bersalah mungkin saja Tara tidak merasa seperti ini jika dirinya tidak terbawa emosi saat bertemu dengan Arka, tidak penting lagi untuk menyesal. Sekarang ia harus menyediakan pundak, telinga, dan juga hati yang kuat. Mental adiknya sangat rapuh saat ini.

"Tiara pergi karena dia tahu lo kuat. jangan nangis, yah. Kasihani gue, Ra," mohon Raffael dengan mata berkaca-kaca ia seberusaha mungkin menahan agar kristal bening itu jatuh.

Tara menghapus sisa air matanya. Sudah cukup ia menangisi khayalan dan takdirnya, setidaknya Raffael masih berada di sampingnya.

"Nah gitu monyet, berhenti nangis," cela Raffael tersenyum tipis.

"Semisal gue pergi, lo jangan pernah ngelakuin hal bodoh dengan keluarga gue, yah," pinta gadis dengan kening yang terbalut perban itu.

"Nggak ada yang akan pergi. Gue janji nggak akan pernah ninggalin lo dan lo juga harus janji jangan pernah ngomong gitu. Nggak usah lebay, lo pulang besok!" bentak Raffael memalingkan wajah.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang