55

8.4K 486 106
                                    

~Happy reading~


Hanya isakan tangis yang terdengar, semua orang yang hadir menanti kabar mengenai sosok gadis tegas yang selalu berucap dengan nada sinis. Meski begitu, mereka semua tahu gadis itu selalu punya alasan baik dengan tindakannya sendiri.

Naya meremas kuat kemeja lelaki tempatnya bersandar sekarang melampiaskan segala kemarahan yang tertanam dibenaknya. Gadis itu merasa hari kebahagiannya adalah hari kesialan. Tidak akan ada yang terjadi seandainya ia tidak menagih janji pada sang adik.

"Kata dokter seharusnya Tara operasi hari ini, tapi adik gue yang bodoh itu malah milih dateng bawain gue donat yang katanya mahal." Naya tertawa pilu semua orang yang menyaksikan dan mendengarnya ikut meneteskan air mata merasa iba.

"Sekarang gue tau adek gue mimisan karena apa. Gue tau gue terlalu buruk untuk jadi tempat cerita, buktinya Tara selalu aja bilang nggak ada apa-apa pas gue tanya. Rasanya sesak banget, Raf, kenapa harus dia? Kenapa?!" teriakan frustasi itu menemani sunyinya lorong rumah sakit, Naya memukul-mukul dada berupaya menghilang sesak yang sebenarnya percuma.

"Berhenti, Nay! Nggak ada gunanya lo nyakitin diri sendiri!" bentak Raffael tak kuat melihat kerapuhan gadis yang didekapnya.

"Tara gadis kuat, Kak. Gue yakin dia bisa, jadi tenangin diri lo, yah," pinta Meysha yang diangguki oleh Aundry. Sementara Fian, lelaki itu hanya diam mematung menatap sendu sepatu yang dikenakannya. Dia begitu ingat benda yang menjadi alas kakinya saat ini adalah pemberian seseorang yang amat dibencinya, ia hanya bisa menangis merutuki semua yang diperbuat pada adiknya.

"Naya, pulang sekarang!"

Pada awalnya, remaja yang sibuk saling menenangkan, kini mengalihkan arah pandang pada suara yang berhasil memecah keheningan. Dua sosok yang dianggap Tara sebagai malaikat pelindung.

Raffael berdecih seraya menatap penuh kebencian pada wanita dan pria yang berdiri dihadapannya kini. "Cih, orangtua macam apa kalian yang melarang seorang kakak menunggu kabar adiknya?"

Seina memutar bola mata seraya melirik sekilas lelaki berkaos hitam pendek yang selalu saja mengganggu urusannya. "Kita memang keluarga, tapi saya nggak mau kamu ikut campur dengan masalah saya! Ini salah kamu, seharusnya kamu bisa melarang anak itu menghadiri pesta yang susah payah saya siapkan. Liat, kan, akibatnya!"

"Eh, Tante! Tara lagi sekarat, loh." Meysha menggelengkan kepala tak tahu lagi bagaimana cara menghadapi wanita tak berhati itu. Jika saja dia bukan seorang ibu, mungkin gadis itu sudah melayangkan satu tamparan pelajaran.

Seina tak lagi memperdulikan ocehan-ocehan orang di sekitarnya, ia memilih berjalan mendekati sang putri dan menariknya menjauh dari para remaja yang menurutnya tak punya etika sopan santun.

"Lepas, Ma, aku nggak mungkin ninggalin Tara yang jelas-jelas butuh aku."

"Diam, Naya! Kenapa kamu memikirkan anak tak berhati seperti dia, anak yang tega melenyapkan nyawa saudaranya sendiri. Dia pantas untuk ini, saya berdoa semoga dia tidak selamat."

Mata Naya memanas, wajah gadis itu bergetar hebat menahan amarah yang sepertinya sudah tak bisa dibendung lagi. Tuduhan, makian, dan hinaan itu sudah cukup, ia tak sanggup lagi mendengarnya. "Stop, Ma! Stop! Tara bukan pembunuh!"

Seina tersentak kaget dengan pekikan sang anak, wanita itu menatap putrinya penuh tanya. "Apa maksud kamu, Naya? Jangan memutarbalikkan fakta hanya untuk membela pembunuh itu, Mama nggak suka!"

"Mama harus suka! Aku nggak mahir memutarbalikkan fakta ataupun berbohong. Tara juga korban, Ma, adik aku yang malang itu rela jadi pelampiasan demi ngelindungin pelaku yang nggak tahu diri itu!" tunjuk Naya penuh amarah ke arah Fian, ia harus mengatakannya sekarang walaupun ia tahu semuanya sudah terlambat.

"Nggak mungkin ...." Seina menjeda ucapannya seraya terkekeh dan menggelengkan kepala tak percaya, wanita itu mengarahkan pandangan penuh pada lelaki yang juga menatapnya dengan sorotan ketakutan. "Bilang sama Mama apa yang dikatakan adik kamu itu bohong. Iya, kan?!"

Mulut Fian terkatup rapat serasa terkunci, lelaki itu hanya bisa meneguk kasar saliva berulang-ulang, keringat dingin saat ini memenuhi keningnya. Ia tak bisa lagi berbohong ataupun memutarbalikkan fakta. Bagaimana tidak? Saksi yang ditakuti kini berbicara mengatakan semuanya.

"Jawab Mama, Fian!" seru Seina menuntut jawaban.

Fian memalingkan wajah enggan menatap mata yang menyorotinya dengan kecurigaan. "Maaf, aku nggak sengaja dan nggak niat ngecelakain Tiara."

Plak!

Kali pertamanya Fian mendapatkan tamparan yang begitu keras hingga merobek sudut bibirnya. Yang lebih menyakitkan lagi, sosok yang melakukan itu adalah Arka, ayahnya sendiri. Hati Fian serasa disayat-sayat berulang kali. Tak ada lagi kasih sayang, tak ada lagi kepercayaan. Yang ada hanya kebencian dan kekecewaan.

"Pergi!"

"Tapi, Pa, aku bisa je—"

"Pergi, pembunuh!"

Tumpahlah sudah air mata yang sedari tadi ditahannya, pipi yang belum kering itu kembali dialiri kristal bening yang cukup hangat. Kata yang selama ini dihindari hingga ia berani menciptakan drama yang menjatuhkan sang adik kedalam jurang kesengsaraan, akhirnya terjadi jua. Lelaki itu berlari sekencang mungkin meninggalkan tempat tersebut. Hancur sudah, Fian lupa kebohongan tidak akan menang melawan kebenaran. Sekarang, ia hanya sosok lemah yang terbuang. "Arrghhh! Kenapa harus, Tara? Kenapa?! Gue nggak akan sanggup hidup dengan hutang nyawa sama dia? Kenapa Tuhan?" Fian jatuh berlutut memandang tangan yang dipenuhi oleh cairan kental merah milik adiknya. "Maaf ...."

Disisi lain, Seina berjalan terhuyung-huyung mendekati pintu di mana putri yang disia-siakannya berada. "Dokter, ngapain anak saya dioperasi?! Dia nggak mungkin sakit, dia cuman pingsan. Saya datang kesini mau jemput dia, saya mau buatin dia susu cokelat kesukaan dia. Saya bilang buka!"

Arka menghampiri istrinya, kemudian merangkul menyalurkan kekuatan. "Ma, udah."

Bukannya diam tangis Seina malah menjadi-jadi. Ketakutan akan kehilangan kembali menghampirinya. Seberusaha mungkin wanita itu menepis semua pikiran buruk. Namun, sepertinya firasat itu enggan pergi dari benaknya. Tangisan pilu itu mengundang tangis semua orang yang hadir menyaksikan kenyataan dan fakta yang menjadi duri dalam keluarga Ganendra.

"Cih, permasalahan keluarga ini enaknya dijadiin novel," decih Aundry.

"Ambil pelajaran aja, sedalam-dalamnya mengubur bangkai suatu saat busuknya akan tercium juga."

"Wah, seorang Meysha yang bodohnya tingkat serius ternyata bisa bijak juga." Gadis itu menggelengkan kepala saking takjubnya. Namun, sebaliknya yang dipuji malah menatapnya tak suka. Bagaimana tidak? Disaat seperti ini Aundry masih saja menyempatkan meledek sahabatnya.

"Maafin Mama, Nak. Mama nyesel, maafin Mama ...." Isakan tangis Seina tak lagi terdengar. Wanita paruh baya itu jatuh tak sadarkan diri masih dengan air mata yang berlinang.

"Mama ba---"

Kalimat Naya terpotong karena sang Ayah memberi isyarat untuk tidak menganggu ibunya dulu. "Biarin aja, yah. Mama kamu terpukul!"

"Kenapa kamu baru ngomong sekarang?" tanya Arka menatap mata bengkak putrinya.

"Tara ngelarang aku, Pa. Katanya ..." Naya menghela napas berat. "Biar kalian tetap sayang sama Fian."

Lagi. Air bening itu jatuh membasahi pipinya. Sekarang, Arka merasa hancur. Entah bagaimana ia akan melewati waktu dengan rasa penyesalan yang melilit hatinya.

"Tara ... ma-maafin papa yang buruk ini." Arka terisak air matanya jatuh membasahi rupa sang istri yang terlelap. Ia sangat-sangat berharap semuanya akan berakhir dengan mimpi indah. Semoga ia masih diberi kesempatan menatap penuh kasih mata terluka milik putri bungsunya. "Papa nungguin Tara di sini, cepat sadar, Nak."









Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang