Tara memutuskan pergi ke suatu tempat saat melihat langit sedang cerah-cerahnya. Tempat di mana ia bisa mengeluarkan seluruh keluh kesah yang ditelannya sendiri.
Di sinilah gadis itu berada, di depan papan nisan yang di atasnya tertuliskan nama Tiara Anastasya Ganendra.
Saat kesedihan tidak bisa ia bendung lagi, Tara akan mengeluarkan semuanya di hadapan makam tersebut. Ia berpikir hanya Tiara yang dapat mengerti dirinya karena mereka kembar. Tetapi sekarang keadaan sudah berbeda Tiara tidak sealam dengannya lagi.
"Hai, apa kabar?" sapa Tara kepada papan nisan menganggap itu adalah Tiara yang juga duduk menatapnya.
Tara mendekatkan telinga di papan nisan tersebut seperti sedang mendengar seseorang berbicara di sana. "Oh gue baik, sehat dari segi fisik nggak tau kalo masalah hati," jawab Tara, ia tertawa sumbang mendengar ucapannya sendiri.
"Gue mau ngomong sesuatu Kak, tapi janji jangan marah sama keluarga kita apalagi sampe gentayangan di rumah kita, soalnya lo nggak serem, kan percuma. Gue mulai, yah, lo tau nggak sih semenjak lo pergi ninggalin kita, papa, mama dan Kak Fian mereka berubah. Mereka jadi benci sama gue. Katanya gue ini pembunuh, Gue yang udah ngirim lo ke alam sana, mereka pikir gue senang lo pergi ...." Tara kembali tertawa bersamaan dengan air bening yang tiba-tiba saja mengucur dari pelupuk matanya.
"Lucu Kak, gue bahagia katanya. Mereka nggak tau aja gue orang paling sedih ditinggalin sama lo. Lo jahat Kak, lo pergi cuman bawa warna kehidupan gue. Kenapa lo nggak ngajak gue juga? Kenapa? Lo tau, gue lelah bersembunyi di balik benteng ketegaran yang gue bangun demi menyembunyikan kerapuhan ini. Sekarang gue sadar takdir nggak salah, gue emang pantes dengan ini semua gue pembunuh, gue pembangkang dan gue anak pembawa sial." Tara menangis tersedu-sedu ia tidak kuat menahan perih di hatinya. Inilah wujud asli Tara, seorang gadis yang rapuh.
"Tapi tenang aja, Kak. Gue masih kuat kok, jadi nggak usah khawatir. Gue pamit dulu, ada urusan gue bakal ke sini lagi bulan depan. Bye jangan rindu." Tara mengusap beberapa kali papan nisan itu sampai akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Kasihan banget lo, Dek." Raffael menatap sendu Tara yang berada beberapa meter darinya. Untung Tara tidak melihatnya sedang mengintip bisa habis dia.
Melihat Tara yang sudah pergi menjauhi pemakaman umum tersebut. Raffael menghampiri makam yang bernisan putih itu.
"Hay Tiara! Apa kabar? Gue juga prihatin dengan keadaan Tara yang sekarang, gue nggak bisa ngapa-ngapain gue kan cuman sepupuan sama kalian, sepupu jauh malahan. Gue sedih setiap kali dia datang ke sekolah dengan luka memar yang entah di muka atau di pergelangan tangan dan gue juga yakin masih banyak luka yang dia sembunyiin dari gue. Gue janji, bakal jagain Tara selamanya," tekad Raffael, lelaki itu menghapus air mata yang sempat keluar setelah mendengar ungkapan isi hati Tara.
----
"Udah dateng aja, ini masih pagi," tegur seorang lelaki yang berpakaian layaknya seorang CEO. Dia adalah pemilik cafe tempat di mana Tara berada sekarang.
"Ini hari minggu, mungkin banyak pelanggan yang bakal dateng. Jadi gue cepat ke sini," tutur Tara ia berjalan menuju ruangan pergantian pakaian khusus pelayan wanita.
Tak butuh waktu lama Tara kini sudah siap dengan pakaiannya.
"Sarapan dulu! Gue tau lo belum sarapan," ujar Raka yang berada tepat di samping pintu di mana Tara akan keluar. Alhasil Tara terlonjak kaget ia mengelus-elus dada.
"Sok tau!" decih Tara.
"Udah, yah, sarapan dulu gue yang traktir sekalian mau ngomong serius sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara [END]
Teen FictionAttara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam jurang kehancuran, yang di buat oleh keluarganya sendiri. Bertahun-tahun ia hidup dalam kesakitan b...