Sampailah Agra didepan gerbang rumah Tara. Perjalanan mereka hanya diisi dengan keheningan.
"Pulang sana, nanti dicariin bunda."
"Kan bunda tau kalo aku lagi nganterin kamu."
"Oh, iya lupa, makasih yah udah nganterin," ujar Tara tersenyum tipis."
"Jangan sering senyum aku bisa kena diabetes."
"Basi!" Tara memutar bola mata malas.
"Nggak papa basi yang penting rasa aku kekamu nggak pernah basi," timpal Agra dengan garis lebar di bibirnya.
"Gombal aja terus, nggak usah pulang. Aku mau masuk dulu."
"Ehh tunggu bentar, Rara ..." Agra mencekal pergelangan Tara.
Tara berbalik dengan alis yang terangkat. "Kenapa?"
"Aku cuman mau bilang aku sayang kamu dan aku nggak main-main," ujar Agra sedikit mendekat kemudian melayangkan kecupan singkat di kening gadisnya.
Tara mematung setelah mendapat perlakuan tersebut.
"Mimpi yang indah kalau perlu mimpiin aku. Nggak boleh yang lain, besok aku jemput." Agra kemudian masuk ke mobilnya dan pergi meninggalkan komplek tersebut.
"Dasar! Sama mimpi aja cemburu."
Tara memasuki rumah yang menjadi tempat munculnya hal buruk dalam hidupnya.
"Pulang selarut ini, anak perempuan macam apa kamu?!" sambut Arka yang duduk di sofa yang berada di depan layar dengan tampilan berita lokal.
Tara menghentikan langkah dan menoleh kearah orang yang menegurnya. "Perempuan yang penuh dengan penderitaan."
"Siapa cowok itu?" tanya Arka mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Cahaya baru dalam hidup aku."
"Saya tanya siapa dia?!" bentak Arka.
"Pacar, kenapa nanya-nanya udah mulai timbul rasa peduli sama aku?"
"Jangan berharap kamu saya tidak pernah punya anak yang hanya bisa bikin malu, pulang larut malam, suka balapan liar dan pembuat onar di sekolah. Satu lagi jangan pernah panggil saya dengan sebutan papa, saya bukan papamu!"
Sakit, pedih, sesak. Itulah yang Tara rasakan ia benar-benar bodoh sampai kapanpun kasih sayang untuknya sudah hilang ditelan dendam. Yang ada hanya kebencian.
"Maaf saya khilaf mengatakan itu." Tara kembali menyusuri tangga. Matanya berkaca-kaca mungkin sebentar lagi tangisnya akan pecah.
Tara menyandarkan tubuhnya di ranjang, ia memeluk erat lututnya.
Bulir-bulir kristal jatuh membasahi pergelangan tangan yang dipeluknya. "Kenapa? mungkin tuhan sudah bosan mendengar ocehanku selama ini yang hanya menginginkan satu hal saja tidak lain dan tidak bukan, tolong perlakukan aku layaknya kalian memperlakukan saudara-saudaraku jika itu berat cukup tatap aku sebagai anak bukan sebagai musuh."
Sesak di dada membuat Tara melupakan kebiasannya mengunci pintu, ia sama sekali tidak ingin seseorang masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak suka hal itu.
Suara derap langkah mendekat, sepertinya dia seorang pria. Gadis itu tidak bisa melihat dengan jelas karena kamarnya saat ini hanya diterangi sinar bulan itupun hanya bagian depan ranjang saja.
"Om Leo?"
Pria itu duduk di bibir ranjang Tara menatap sendu kearah gadis malang itu. Dia juga sempak menyaksikan perdebatan yang terjadi antara adik dan ponakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara [END]
Teen FictionAttara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam jurang kehancuran, yang di buat oleh keluarganya sendiri. Bertahun-tahun ia hidup dalam kesakitan b...