48

4.6K 308 76
                                    

"Bagaimana keadaan adik saya, Om?" tanya Raffael menatap pria paruh baya di hadapannya dengan sorotan khawatir.

Dokter tersebut menghela napas panjang sembari melepaskan jas putih yang menutupi pakaian dalamnya. Dia adalah Vano---ayah dari Agra. "Jangan khawatir, Nak. Dia baik-baik saja. Mungkin dia hanya akan mengalami deman beberapa hari ke depan, itu efek dari pukulan keras di kepala dan luka-luka lebam di tubuhnya."

Raffael membuang napas lega mendengar penuturan sang dokter. Pikiran buruk sempat menghantui benaknya, bagaimana tidak? Darah merembes keluar dari kepala dan mulut sang adik secara terus-menerus. Tetapi, semua pikiran itu tertepis dengan apa yang baru ia dengar dari ahlinya.

"Oh, yah, saya sarankan Tara lebih menghindari benturan di kepala karena hal itu bisa berakibat fatal untuk kesehatan adik kamu."

Raffael menganggukkan kepala terukir senyum tipis di bibirnya. Lelaki itu berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut.

"Apa pun hasilnya nanti, kalau Om benar-benar sayang sama saya, tolong sembunyiin masalah ini. Saya berharap hanya kita dan Allah yang tahu."

Bisikan parau dari gadis yang sudah dianggapnya putri sendiri terus terdengar dari dalam pikiran. Ia merasa bersalah pada Raffael. Vano sangat ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi ia juga sudah berjanji pada gadis muda itu.

"Maafkan saya Nak Raffael," lirih Vano.

Raffael berjalan memasuki ruangan tempat Tara dirawat dengan raut wajah yang tidak sekusut tadi. "Niz, dia belum sadar juga?"

Gadis yang duduk tepat di samping brankar Tara meletakkan benda pipih yang dipegangnya di meja nakas rumah sakit kemudian menoleh ke arah seseorang yang menyebut namanya. "Belum, Raf. Apa kata dokter?"

Lelaki itu tersenyum mendaratkan bokong di sofa yang tersedia di ruangan itu. "Kita tunggu aja dia siuman. Kata dokter sih nggak ada yang perlu dikhawatirin."

"Alhamdulillah, mah, kalau gitu. Raf, gue laper, nih. Beliin makanan, dong," rengek Niza dengan bibir mengerucut ke depan menampakkan kerutan di sana . Bagi Raffael, Hal ini justru memberikan kesan imut di matanya.

"Raf! Kok bengong, sih?! Kalo gue mati kelaparan lo nggak akan punya pacar secantik dan sebaik gue lagi. Cepet, beliin!" pinta Niza sembari memegani perutnya.

Raffael mendesah menahan tawa melihat tingkah kekasihnya, lelaki itu beranjak dari duduk kemudian berjalan keluar dari ruangan bernuansa putih dengan aroma obat-obatan yang menusuk penciuman.

Seperkian detik kemudian gadis di sampingnya bersuara lirih hal itu sontak membuatnya menoleh. "Gue di mana? Auw ... sshh ....," ringis gadis yang terbaring di brankar rumah sakit.

"Ehh, Ra, akhirnya lo sadar juga. Alhamdulillah, ya Allah," ujar Niza mengusap wajah.

"Gue di mana?" tanya Tara berusaha bangkit dari posisi, tangannya menekan bagian kepala yang terasa sakit.

"Eh, nggak usah bangun dulu, lo harus istirahat yang cukup. Kita di rumah sakit," ujar Niza seraya menahan tubuh lemah Tara agar tetap pada posisi awal.

"Nggak papa, gue udah mendingan, kok. Kak Raffael di mana?" Tara melihat sekelilingnya tetapi nihil ia tidak melihat batang hidung lelaki tersebut.

"Oh, dia lagi pergi beliin gue makanan. Soalnya perut teriak-teriak minta diisi," ujar Niza terkekeh pelan.

"Maaf, yah. Gara-gara gue lo sampai nggak makan gini," balas Tara. Denyutan di kepala yang tak kunjung hilang membuat penglihatannya mengabur.

"Sans aja, Ra. Adik Raffael juga adik gue." Niza tersenyum ramah.

----

Senyum lelaki itu mendadak hilang dari wajah, langkahnya terhenti. Pria setengah bayah beberapa meter di depannya membuat suasana hati Raffael kembali seperti saat ia menemukan Tara terkapar di aspal dingin di luar sana.

"Tuan Arka!" teriak Raffael penuh amarah.

Pria setengah baya itu menoleh ke arah seseorang yang menyebut namanya dengan kening yang berkerut. "Kamu?"

Raffael berjalan mendekat ke arah Arka. "Anda tahu pasti kenapa saya berada di sini, bukan?"

"Apa maksud kamu?"

Raffael meletakkan kantong yang di bawahnya di salah-satu atap mobil yang terparkir di sana. Emosi yang membakar hati membuatnya berani mencengkram kerah baju seorang Arka. "Bilang sama saya, apa alasan Anda melakukan hal sekeji itu sama Tara?!"

Arka mengusap pelan dagunya. "Oh, jadi kamu lagi ngebahas dia."

Respon pria setengah baya itu membuat Raffael tak kuat menahan emosi, tanpa menghiraukan orang sekitar ia melayangkan satu pukulan tepat di pipi Arka. "Kenapa Anda nggak bunuh dia aja, apa Anda pikir hidup seperti itu enak?! Nggak Tuan Arka, hidup dia lebih buruk dari kematian! Sekali lagi, Kenapa Anda lakuin ini?!"

"Karena dia pantas mendapatkannya."

"Brengsek!" Raffael kembali menghantamkan pukulan demi pukulan. Ia tak habis pikir kenapa dunia bisa menghasilkan manusia tak berhati seperti Arka.

"Raffael!" teriak seorang lelaki yang berjalan tergesa-gesa ke parkiran sembari meneteng kantong putih yang berisi obat.

"Brengsek lainnya datang," ujar Raffael melirik sekilas lelaki yang meneriakinya. Sementara itu, Arka meringis pelan akibat rasa nyeri di bagian sudut mata, hidung dan bibirnya.

"Lo?!" tunjuk Fian menatap murka Raffael.

"Kenapa? Mau juga?" tanya Raffael tersenyum sinis.

"Berani-beraninya lo ngelakuin ini sama bokap gua!"

Raffael tersenyum sembari meniup-niupi jari-jari tangannya. "Dia pantas untuk itu."

"Lo?!" Merasa dipermainkan Fian berjalan mendekat. Kemudianbmencengkram kerah baju Raffael. Saat ingin melayangkan pukulan suara lemah di balik kerumunan membuatnya berhenti.

"Kak Fian, cukup ....," lirih Tara lemah.

Fian menoleh sesaat setelah melepas cengkramannya dari Raffael. Rasa iba menggerogoti batinnya melihat wajah pucat dan dahi yang dibalut perban. Tetapi, kebencian mengalahkan segalanya. "Lo masih hidup?"

Kalimat singkat yang begitu menyakitkan untuk terdengar oleh Tara. Saat seperti ini pun Fian masih tetap Fian yang sama. Raffael geram ingin rasanya ia menenggelamkan lelaki di sampingnya. Akan tetapi, gadis pucat itu menginstruksinya agar tetap diam.

"Belum saatnya, Kak. Maaf untuk itu."

"Lihat." Tunjuk Fian ke arah Arka. "Gara-gara lo bokap gue jadi kayak gini. Nggak serumah pun masih aja jadi benalu! Lo harusnya ngerasa beruntung bokap gue masih ngebiarin lo ngeliat langit. Tapi apa balasan Lo? Lo malah ngenyuruh kakak lo itu ngeroyok bokap, dasar nggak tahu untung! Mati aja lo sana!"

"Fian!" teriak Raffael hingga membuat para penghuni rumah sakit yang ada di sana menatapnya takut. "Lo kelewatan tahu nggak?!"

"Kak, nggak papa. Kak Fian bener. Sekali lagi maaf, Kak. Kakak ngapain ke sini?" tanya Tara terselip harapan kekhawatiran Fian tentangnya.

"Tentu untuk adik gue Naya. Dia sakit dan itu juga karena lo. Nggak usah sok baik, deh. Lo kira dengan Lo begini gue bakal luluh? Nggak, setelah apa yang lo lakuin sama keluarga gue! Gue benci, Ra, sama lo. Gue nyeselin satu hal kenapa gue terlahir saudaraan sama lo!" caci Fian dengan mata yang berkaca-kaca.

Tara hanya bisa tersenyum sembari menangis. Fian tak pernah semarah itu padanya. Beberapa jam yang lalu gadis itu baru saja ia mengalami musibah tak terduga. Sekarang hatinya kembali mendapat hantaman yang menyakitkan bahkan mungkin tak ia lupakan.

Sesaat Tara menutup rapat kedua matanya, hinaan Fian di muka umum benar-benar membuatnya ingin menghilang dari dunia. Kata tak pantas itu berirama bagai lagu di kepalanya. Nyeri di kepala kian bertambah membuat pandangannya tak terlihat jelas hingga akhirnya yang terpampang hanya kegelapan yang hampa. Samar-samar ia mendengar teriakan Raffael memanggil namanya, ia berharap untuk tidak bangun lagi.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang