Prolog

24.8K 1K 109
                                    

Happy reading!

-----

Tetes demi tetes embun bening jatuh berderai membasahi pipi tanpa jeda. Hening mengambil alih keadaan hingga masing-masing deru napas berat yang saling bersahutan terdengar begitu jelas bahkan menyayat kalbu ditambah pula dengan isakan dari mulut-mulut yang tak bisa berkata-kata atas kejadian terlampau mendadak ini.

Gadis kecil dengan tubuh yang dibaluti kaos pink bergambar tokoh kartun terkenal cinderella berpadu dengan rok mini berwarna hitam tengah berdiri menatap dengan sorot terluka ke arah brankar rumah sakit tempat di mana sebuah tubuh mungil terbaring. Yang lebih menampar tubuh itu tertutupi selimut putih dan tak lagi menampakkan aktivitas menghirup dan mengembuskan napas.


"Mengapa kamu melakukan perbuatan keji pada anak saya?!" bentak pria paruh baya pada gadis kecil yang berdiri tepat di sampingnya.

"A-ku n-ggak mu-mungkin nge-lakuin i-tu, Pa," jawab gadis kecil tersebut dengan suara yang gemetar karena pertama kali mendengar bentakan sang ayah.

"Nggak usah nangis kamu, inikan yang kamu mau?! Saya tahu kamu iri dengan anak saya makanya kamu nekad ngelakuin hal setega ini! Kamu tahu? Kamu secara tak langsung telah menghancurkan keluarga saya!"  Si gadis kecil hanya bisa tertunduk dalam. Tidakkah orang menyadari siapa yang paling terluka? Apa ada orang yang mau sosok yang paling dekat dengannya terluka bahkan kehilangan hak untuk melihat dunia lebih lama? Tidak bukan? "Kamu emang anak nggak tahu untung! Dasar anak pembawa sial!" teriak seorang wanita yang tengah terduduk lemas memeluk tubuh kaku itu. "Kenapa bukan kamu saja yang mati?!"

"Tapi Ma, Pa, ... ini bukan sa—"

"Udahlah, lo nggak usah ngelak, jelas-jelas gue liat dengan mata kepala gue sendiri, kalo lo sengaja dorong Tiara. Kecil-kecil udah pintar aja jadi orang munafik! Besar mau jadi apa lo, hah?!" seru anak laki-laki yang tengah menyeka kasar sisa air mata di pelupuk.

Tak ada pilihan lain. Gadis malang yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam dengan air mata berjatuhan. Seharusnya saat ini sang ibu akan merangkul dirinya, memberinya semangat, bukan malah menyuguhkan tuduhan yang bahkan ia tak mengerti. Tuhan apakah ia akan hidup dengan takdir sepahit ini? Gadis itu tak menyerah, mungkin saudara perempuannya akan mengerti dan tak berlaku sama.

"Kak Naya. Kakak percaya, 'kan, bukan aku yang buat Tiara pergi?" Sayang beribu sayang gadis yang diajaknya bicara hanya memalingkan muka. Sama saja mengiyakan insiden yang sang tersangka pun tak mengerti.

"Mulai sekarang kamu bukan bagian dari kami walau wajah kalian serupa, kalian berbeda dia korban dan kamu pembunuhnya! Tapi tenang kamu akan tetap tinggal di rumah kami, sebagai penumpang maka berlakulah layaknya penumpang. Ya, saya tidak ingin reputasi saya hancur, jadi jangan mengira saya melakukan itu karena saya perduli sama kamu, tidak sama sekali! Penjahat tetaplah penjahat mau berbuat sebaik malaikat sekalipun!" sergah lelaki setengah baya seraya menekankan kalimat terakhirnya tanpa merasa bersalah atau iba sedikit pun karena membuat gadis kecilnya tertunduk takut.

Kata-kata terakhir sang ayah masih selalu terngiang-ngiang dalam otak seperti kaset rusak. Sial, memori itu selalu meretakkan dan meninggalkan lubang yang tak terobati di batinnya. walau begitu, selalu ada harap jika suatu hari akan ada cahaya yang menerangi kegelapan dan ada tangan yang membantunya bangkit dari kesedihan

"Woi! Jangan bengong! Gue tahu lo pasti mikirin bagaimana malunya lo nanti pas kalah balapan, bukan?" tanya pemuda bernama Devon dengan senyum remeh yang ia terbitkan di kedua sudut bibirnya.

Gadis yang kerap disapa Tara bukannya merasa tertantang malah mendengkus menahan tawa. Kemudian, menutup kaca helm fullface yang sempat dibuka hanya untuk menyapa para penggemar. "Kita lihat aja nanti."

Kedua netra di balik helm berwarna senada dengan kendaraan menatap serius ke arah kain kecil yang dipegang oleh gadis berpakaian minim dimana berdiri di antara motor mereka seraya menghitung mundur mulai dari angka tiga.

Saat kain menyentuh permukaan aspal, kedua peserta menarik tali gas dengan semangat membara yang terpampang jelas di wajah, suara deru motor terdengar keras memekakkan telinga, tetapi hal tersebut tidak membuat para penonton menghentikan teriakan kebanggaan kepada idola masing-masing hingga tak terlihat lagi.

***

"Sekarang yang malu, siapa?"

Devon yang saat ini tengah menghentikan motor tepat di samping Tara, mendesah kesal disertai dengan pukulan keras pada helm tanda tak terima. "Nggak usah sombong! Lo menang hanya karena kebetulan!"

Tara berjalan menghampiri Devon dan mengusap beberapa kali bahu lelaki tersebut. "Oh, yah? Bukannya ini kesekian kali lo kalah dari gue?"

Rahang pemuda bertubuh tinggi itu mengeras hingga suara gemelutuk gigi yang saling beradu terdengar. "Lo!" Jika saja tidak ada orang di sana, Devon tak akan segan-segan melayangkan bogeman pada mulut yang gemar menghina itu.

"Sayang, yah, malam ini gue lagi yang dapat. Ya sebenarnya gue tahu sih nggak akan ada yang berubah, cuman cowok sok kek lo perlu dikasih tahu tempat," ledek Tara menampakkan smirk andalannya tak lupa dengan sorot remeh.

"Lagi!" teriak seorang lelaki yang berlari dari arah yang berlawanan tempat Tara berdiri sekarang.

"Mampus gue." Tara meneguk saliva kasar dengan mata melayang kemana-mana mencari tempat persembunyian.

"Kayaknya gue udah nggak perlu ada di sini lagi, selamat menikmati amukan singa," ujar Devon melambaikan tangan puas lalu meninggalkan Tara yang tertunduk gemetar.

"Ngeyel banget, sih, jadi orang!" bentak lelaki muda yang baru saja datang, dadanya naik turun pertanda sedang berusaha mengatur napas.

"Wih, Kak Raffael ganteng banget malam ini," puji Tara terkekeh pelan.

"Nggak usah muji-muji! Nggak akan mempan! Udah berapa kali gue bilang jangan balapan! Lo tahu, 'kan, akibatnya kalo bokap terhormat lo itu liat lo di sini?"

Tara mengembuskan napas kasar. Bosan mendengar kalimat yang lagi diutarakan Raffael. "Maaf, ini yang terakhir, gue janji."

"Setiap lo kedapatan balap pasti jawabannya ini, 'kan? udahlah, Ra, gue butuh pembuktian bukan cuman omongan! Semua orang juga bisa kalo hanya berucap!"

Tara melirik sekeliling, semua penonton sedari tadi memperhatikan perdebatan yang sudah biasa terjadi. Malam ini adalah kesekian kalinya ia tertangkap basah adu kelihaian di atas aspal oleh kakak super protektif, mungkin saat ini dirinya hanya butuh mengiyakan semua ucapan yang terlontar di mulut lelaki itu.

"Ingat, Ra, lo itu anak pengusaha ternama, gimana kalo rekan bisnis Om Arka ngeliat lo di sini? Lo bakal kena lagi, Ra!"

Tara melepaskan helm fullface yang membungkus kepala. Kemudian merapikan rambut yang menutupi wajah. "Nggak mungkin klien papa ngelihat gue, ini udah larut, Kak. Lagian kurang kerjaan banget nonton acara kayak gini apalagi mereka-mereka itu manusia dompet tebal."

"Iya gue tahu. Gue, 'kan, lagi khawatir ceritanya. pokoknya gue nggak mau lagi liat lo balapan, kalau lo keciduk lagi anggap aja kita nggak pernah kenal!" ancam Raffael dengan tatapan serius yang mengarah pada Tara. Tara  benci itu, ia tak akan pernah mampu jauh dari Raffaell karena ia sudah terlanjur menopangkan seluruh hidupnya disana. Pundak, telinga, hanya Raffaell yang bisa memenuhi kebutuhan Tara satu itu.

"Main ngancam lo, Kak, nggak seru! Ya udah gue usahain, deh. Gue mau pulang dulu mama sama papa pasti khawatir nyariin gue," ujar Tara seraya menampilkan senyum lebar pada sang Kakak.

"Halu!"

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang