47

6.2K 390 175
                                    

Siang berganti malam tampaknya sang langit tidak baik-baik saja. Lihat, ia bahkan tidak menampakkan satu pun benda langit yang biasanya bersinar menyinari bumi dengan cahaya redup yang menenangkan, seolah tahu salah satu penghuni bumi tengah bersedih dan berada dalam tahap keputusasaan menjalani hidup yang dilimpahi masalah demi masalah.

Seorang gadis tengah berjalan memasuki pekarangan kediamannya dengan langkah lesu serta wajah yang pucat. Bau menyengat dari rambut hitam pekatnya masih terasa menusuk rongga hidung. Gadis itu menatap pergelangan tangan kanan dengan sorotan terluka. Kejadian di sekolah dan di cafe benar-benar tak bisa ia hilangkan.

Langkahnya terhenti tepat di depan pintu coklat kediaman. Tara menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, entah kenapa malam ini firasat buruk menghantui pikirannya.

Ceklek!

Tepat saat pintu terbuka, satu tamparan keras mendarat mulus di pipi kanannya, Tara menyentuh bagian yang nyeri tersebut dengan kepala yang mendongak untuk melihat siapa yang bermain tangan padanya.

"Papa," lirih Tara. Tepat di hadapannya berdiri sesosok pria setengah baya yang menatap tajam dengan tangan yang meneteng sebatang rotan.

"Jangan sebut kata itu dengan mulut kotormu!" teriak Arka suaranya menggema di setiap sudut ruangan mansion Ganendra.

Tara diam tak bergeming, keringat dingin bercucuran membasahi keningnya. Pria di hadapannya tampak sangat murka, ia berkali-kali meneguk saliva karena rasa takut mulai memasuki relung hati.

Tanpa aba-aba Arka langsung menarik dengan kuat rambut putri bungsunya membuat gadis itu menjerit kesakitan.

"Papa, jangan! Tara kesakitan!" teriak Naya sembari berusaha memberontak dari cekatan kakaknya, sedangkan Seina? Wanita itu hanya berdiri menatap putri bungsunya tanpa ada rasa kasihan yang tersirat di benak.

"Lepasin, Pa, sakit ....," lirih Tara kedua tangannya memegang erat rambut yang dicengkeram kuat oleh sang ayah berupaya mengurangi rasa sakit. "Aku nggak ngelakuin apa-apa hari ini ...."

Tara menangis tersedu-sedu menahan rasa sakit yang berdenyut di kepala, bulir-bulir air bening keluar dari pelupuk mata mengaliri kedua belah pipi.

Arka menghempaskan kasar tubuh sang putri ke lantai kemudian menatap gadis tersebut dengan sorotan bengis. "Kesalahanmu hari ini sudah sangat fatal dan tidak termaafkan!"

Tara meneguk ludah takut, ia merasa tidak pernah melakukan kesalahan yang membuat malu keluarga, jika begitu lantas kenapa ayahnya bisa semarah ini? Pertanyaan demi pertanyaan tercipta di benak tanpa bisa dikeluarkan.

Seina berjalan menghampiri Tara kemudian terduduk di depan gadis tersebut. Tangannya mencengkeram erat dagu putri bungsunya hingga terdongak. "Saya sangat menyesal melahirkan anak seperti kamu yang bisanya cuman bikin malu keluarga! Dengan adanya kamu di dunia ini saya dan keluarga saya selalu di timpa kesialan, saya sangat menunggu saat di mana kamu meninggalkan dunia ini!" tambah Seina giginya bergemelutuk menahan amarah, kedua bola matanya menatap Tara dengan pandangan kebencian.

Hati Tara seperti di tusuk beribu pedang secara perlahan dan berulang-ulang, air mata mengalir deras hingga membuat genangan kecil di lantai. Sekarang katakan, anak mana yang sanggup menahan tangis saat mendengar sosok yang seharusnya menjadi tameng pelindung dan malaikat penenang malah menginginkannya meninggal dunia? Tara hanya bisa meremas kuat dada dan menutup erat kedua mata berharap mimpi buruk ini segera berlalu, tetapi naas pukulan demi pukulan mendarat di tubuh, dirinya hanya bisa terdiam menerima pukulan tanpa berniat untuk melindungi diri.

Ctak! Ctak! Ctak!

"Papa! Cukup! Tara bisa mati, Naya nggak mau kehilangan dia!" teriak Naya, pukulan demi pukulan yang mendarat di tubuh adiknya terdengar berirama di indera pendengaran. "Ma, suruh papa berhenti." Seina hanya diam tak mengubris perkataan Naya, gadis itu tidak menyerah ia beralih menatap lelaki yang berdiri di sampingnya. "Fian, to–"

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang