42

4.2K 261 8
                                    

Pertama kalinya Raffael kembali menjalani hukuman dari guru BK sejak menjabat sebagai ketua OSIS. Hari ini dirinya dan Agra tengah berdiri menghadap ke arah ujung tiang bendera yang berada di tengah lapangan. Keringat bercucuran membasahi kening hingga pipi kedua remaja tampan itu.

"Ini semua gara-gara lo!" sentak Agra menyalahkan Raffael.

"Diam lo, coba aja lo nggak nyakitin adek gue, gue nggak bakal nekat ngelakuin hal tadi. Apalagi gue di sini ngejabat sebagai ketua OSIS," ujar Raffael mengusap keringat di keningnya dengan tangan.

Agra melirik sekilas lelaki di sampingnya. "Sesayang itu, yah lo sama dia sampai nekat langgar aturan ke gini?"

"Banget. Sayang gue ke dia bukan sekedar kata tapi pembuktian, gue bahkan nggak mampu sekalipun ngehina atau ngerendahin dia walaupun gue marah, dia udah gue anggap adek gue sendiri," sindir Raffael matanya ia sipitkan karena pengaruh dari teriknya matahari.

Agra hanya diam mendengar ucapan Raffael. Di dalam lubuk hatinya ia juga merasa bersalah dengan apa yang dilakukannya tadi pagi, tapi ia juga tidak bisa membohongi perasaannya bahwa saat ini ia bahkan membenci gadis yang pernah menjabat sebagai pacarnya.

"Sekarang waktunya lo tau, Gra," ujar Fian membuang permen karet yang sedari tadi dikunyahnya

"Tau apaan?" tanya Agra penasaran.

"Semuanya."

Agra mengernyitkan kening tak mengerti. "Maksud lo apaan, sih? Jangan ngomong nggak jelas kayak gini."

"Sorry, pemanasan," ujar Fian terkekeh, "lo udah tau Tiara di mana?"

"Di london, ngapain lo nanya ke gitu sama gue?"

Bukannya menjawab Fian malah tertawa keras tanpa ada yang lucu membuat Agra menatapnya tak mengerti.

"Siapa yang bilang, hah?" tanya Fian tawanya tak kunjung mereda.

"Meysha, tapi Tara iyain. Jadi gue percaya."

Kali ini tawa Fian mengecil ekspresi wajahnya berubah. "Goblok, Tiara sama kita udah beda alam."

Mendengar penuturan Fian, Agra terkejut bukan kepalang tapi dirinya tetap berusaha untuk tidak percaya begitu saja.

"Lo bercanda, 'kan?"

"Gue nggak bakal bercanda soal kematian. Gue serius, adek gue Tiara udah meninggal seminggu setelah lo ketemu di taman," ujar Fian dengan mata berkaca-kaca, berharap lelaki di sampingnya yakin pada ucapannya.

"Nggak, nggak mungkin! Tapi kenapa Rara ngebohongin gue?!" ujar Agra memijit keningnya.

Fian tersenyum tipis. "Pertanyaan yang gue tunggu dari tadi."

"Ya udah, jawab!!" bentak Agra frustasi.

"Jawabannya simple karena dia yang ngebunuh Tiara, gue lihat dengan mata kepala gue. Lo nggak perlu tahu kronologis kematiannya lo hanya perlu tahu fakta ini," ujar Fian meyakinkan.

Agra menggelengkan kepala tak percaya. "Mustahil, ini nggak mungkin, nggak mungkin!! teriak Agra meremas telapak tangannya kuat. "Jadi, maksud lo Tara bohong ke gue karena takut gue tahu fakta yang sebenarnya?"

"Kurang lebih seperti itu, tapi terserah lo mau percaya apa nggak sama gue yang penting gue udah kasih tau semuanya ke lo."

"Nggak mungkin," lirih Agra tertunduk setetes demi setetes air mata kemarahannya jatuh membasahi rumput taman tersebut.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang