"Pagi! Waktunya bangun!" Sedikit mengguncang kedua tubuh yang terbalut selimut. Namun, lagi dan lagi tak ada balasan. Gadis itu tak menyerah, mungkin butuh usaha yang lebih keras untuk membangunkan dua makhluk Tuhan yang sepertinya enggan keluar dari dunia mimpi.
Gadis bergingsul itu tersenyum jail. Detik berikutnya, ia mendekatkan dua buah benda kenyal pink kebanggaannya pada kelopak yang terjatuh rapat. "Pagi aku nggak indah tanpa natap sorot tulus dari kalian. Aku nggak mau buang kesempatan itu."
"Aduh! Anak mama nakal banget, sih!" gerutu Seina setengah sadar seraya mengusap pelan kelopak mata yang digigit kecil oleh putri bungsunya.
"Awas, yah, setelah ini papa gigit juga!" ujar Arka yang juga mengusap kelopaknya. Pasangan suami istri itu hanya menggeleng pelan melihat sang putri yang malah tertawa terpingkal-pingkal.
"Udah, ah, kita lanjut tidur aja."
"Eitss." Tahan gadis itu. "Kalian udah janji, yah, hari ini kita bakal ke pantai sebagai bayaran karena aku berhasil meraih juara satu olimpiade matematika tingkat nasional. Ke pantai juga buat ngobatin rindu aku sama kalian semua."
"Masih pagi, Sayang. Ikan pun belum bangun."
"Pagi apaan, udah jam tujuh. Ayok, ah, Kak Naya sama Kak Fian juga udah nyiapin perlengkapan buat ke sana."
"Mama sama Papa, kan, masih capek. Habis pertemuan sama klien semalam," jelas Seina sedikit merengek. Memang benar, semalam ia dan Arka pulang cukup telat dari biasanya. Sebenarnya mereka ingin menginap saja. Namun, Seina tak mau melewatkan satu hari pun rutinitas untuk mencium kening ketiga anaknya. Apalagi putri bungsunya yang baru merasakan hal itu setelah sekian lama.
"Ya udah, kita cancel aja. Minggu depan juga bisa," putus Tara. Gadis itu tersenyum paksa seraya membalikkan badan berniat meninggalkan kamar bernuasa cokelat yang dipenuhi dengan rak buku tersebut.
"Hmm ... hmm ... Tara kita ngambekkan, yah, Pa? Padahal kita cuman bercanda," timpal Seina yang ditangkap tawa meledek oleh Arka. Sontak Tara kembali berbalik melempar tatapan kesal pada pasangan itu. Ia berjalan pelan disertai dengan hentakkan demi hentakkan mendekati sang ibu dan ayah.
"Kalian kayak anak kecil tau nggak. Mainnya canda mulu, sekali-kali serius napa," kesal Tara bersedikap dada. Dia memalingkan wajah menatap ke arah lain.
Arka mengusap lembut puncak rambut putrinya. Selalu timbul pertanyaan kenapa tak dari dulu dia hidup seperti ini, bahagia dan begitu rukun. "Jangan keseringan serius banyak orang yang suka bercanda. Kasian hati kamu, apalagi sama cowok."
"Melenceng lagi, nih, omongan. Udah, yah, kalian siap-siap aku sama para kakak nunggu di bawah."
Arka menarik pergelangan Tara mencegah gadis itu pergi. "Kiss dulu."
"Nggak. Bau!" ujar Tara mengakhiri percakapan gadis itu berlari kecil meninggalkan Seina dan Arka yang diam mengerucutkan bibir.
Tak butuh waktu lama untuk pasangan itu membersihkan diri. Tanpa basa basi mereka segera turun menemui anak-anak.
"Cantik banget, Ma. Meriah lagi." Ujaran Fian tidak terdengar seperti pujian melainkan ledekan di telinga Seina.
Memang benar, bayangkan saja pakaian yang terbalut di tubuh wanita paruh baya itu. jumpsuit berwarna orange tak lupa dipadukan dengan topi floppy putih serta kacamata hitam kotak cukup besar. Sangat mencolok di antara yang lainnya apalagi dengan Tara, gadis itu hanya mengenakan hoddie hitam dan jeans pendek.
"Makasih, Fian. Mama emang cantik makanya kedua putri mama juga nggak kalah cantik."
"Enggak, cantiknya Naya dua kali lipat dari Mama dan ...." Naya melirik sekilas gadis yang hanya diam dari tadi sembari fokus menatap layar benda pipih di tangan. "Dan Tara tentunya," lanjutnya sedikit terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara [END]
Teen FictionAttara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam jurang kehancuran, yang di buat oleh keluarganya sendiri. Bertahun-tahun ia hidup dalam kesakitan b...