56

8.6K 453 22
                                    

--Happy reading--


Setetes air bening jatuh membasahi pipi lelaki itu. Mendadak ia merasa sesak saat kedua kupingnya mendengar kenyataan bahwa alasan ia membenci cintanya itu ternyata salah. Apa yang selama ini ia lakukan? Meragukan ucapan cintanya dan memilih mempercayai seseorang yang belum tentu benar, mempermalukan cintanya pada dunia, menggoreskan ucapan mencekik pada benak cintanya. Sungguh, lelaki itu lebih pantas disebut bejat.

"Ini nggak mungkin, nggak! Apa yang udah gue lakuin ....?" lirih lelaki berjaket denim itu kedua matanya menyorot tak percaya ke arah pintu yang kabarnya menelan gadis sejam lalu ia bentak dan kasari.


"Pergi dari sini!" pekik Raffael yang kini berdiri tepat di hadapan lelaki itu dengan tangan terkepal serta wajah  bergetar hebat.

"Kenapa lo nggak bilang sama gue kalo ucapan Fian mengenai Tara itu boong? Kenapa?!"

Raffael membuang muka, lelaki itu tertawa hambar dengan mata yang berkaca-kaca. "Brengsek! Bisanya cuman nyalahin orang ya, lo! Mulut gue sampai capek ngingatin lo, Gra, tapi lo buta persis kayak keluarga Ganendra. Gue pernah percaya kalo lo adalah cowok yang dibutuhkan sama adek gue, tapi apa? Apa yang udah lo lakuin, Agra?! Lo malah nambah beban, kalo gue tau akhirnya seperti ini, gue nggak akan pernah ngizinin lo masuk dalam hidup adek gue, nggak akan pernah! Lo bahagia, bukan, liat adek gue sekarat? Okey, sekarang gue minta lo ketawa, ayok ketawa, ketawa gue bilang Agra! Ketawa!"

"Kak, udah. Berhenti nyalahin dia," imbuh Meysha mencoba menengahi perdebatan tersebut. Meysha melakukan itu bukan karena membela Agra, melainkan karena ia tahu Tara tak akan suka dengan keadaan sekarang. Meysha tidak ingin sahabatnya sadar dengan sambutan pertengkaran.

"Ngapain lo belain dia, Sha? Lo sahabat Tara apa bukan, sih?!"

Meysha menghirup napas kemudian mengembuskan pelan agar emosinya tidak terpancing. "Gue nggak belain siapapun, Kak. Gini, dengan lo nyalahin Agra apa semuanya akan berubah? Nggak, kan? Jadi, cukup. Lo pasti lebih tau dari gue bagaimana perasaan Tara liat lo yang kayak gini, kan?" Raffael mengendurkan kepalan tangan. Apa yang dikatakan Meysha itu benar. Ketidak terimaan membuat Raffael selalu ingin menyalahkan, ia tidak kuat dengan fakta bahwa seseorang yang beberapa jam tadi masih tersenyum padanya, sekarang ... tengah berjuang melawan maut.

"Pergi dari sini." Raffael berucap dengan nada yang lebih rendah. Namun, Agra masih kekeh di tempat dengan mata yang tak berhenti menyorot pilu pintu bercat putih di belakangnya. Timbul rasa kasihan di benak Raffael, haruskah ia memberi kesempatan pada lelaki bejat itu?

"Tara bukan pembunuh! Fian pelakunya!"

"Tara cedera otak, Gra. Kelainan itu udah diagnosa sebelum kecelakaan dan papa bilang hanya secuil kemungkinan dia selamat. Gue harap lo mau temuin dan nungguin dia mungkin aja ada keajaiban."

Kaki jenjang Agra jatuh bertumpu pada ubin dengan gemetar ia memegang kedua kaki lelaki yang menghadangnya bertemu dengan Tara. "Maafin gue, kasih gue kesempatan. Gue mohon ...."

"Raf, biarin dia di sini dan nikmatin waktu bersama penyesalan dan rasa bersalah. Gue pikir itu hukuman yang sepadan," pinta Raka menatap iba pada sang adik.

Raffael menghela napas kasar. Kedua tangannya menarik tubuh lemah Agra untuk berdiri seperti semula. "Rasa sakit nggak akan ngehampiri seandainya lo dengerin gue." Selanjutnya Raffael berjalan meninggalkan lelaki tersebut dan kembali menyandarkan tubuh pada dinding terdekat. Sementara Agra, pikiran lelaki itu terdominasi oleh Tara. Masih ada sepucuk rasa tak percaya dengan keadaan sekarang, baru saja ia bertemu dan membentak gadis itu beberapa jam lalu dan sekarang ... Seandainya ia tahu akan seperti ini, mungkin ia tidak akan melakukan hal yang menyakiti hati gadis itu. Namun,  yang  bisa ia lakukan kini hanya berandai-andai berharap yang terjadi sekarang  hanyalah mimpi buruk. "Gue salah, gue bodoh! Gue brengsek! Gue nyiksa cinta gue sendiri, bodoh! Seharusnya gue jadi pundak dia tapi Agra sinting ini malah jadi beban. Arggghhh! Maafin, gue, Ra! Maaf! Gue nggak bisa liat lo kayak gini. Maaff ...."

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang