Sepulang dari rumah sang kekasih, ada rasa senang di hatinya karena bisa merasakan kehangatan keluarga di sana.
Samar-samar dirinya dapat mendengar perbincangan sang ayah dan kakak.
Ia memutuskan untuk menguping pembicaraan kedua orang terdekatnya itu yang kini berada di depan televisi. Di sana, tidak ada ibu dan kakak sulungnnya, mungkin sudah tertidur lelap mengingat hari sudah semakin larut.
"Lusa besok, Adik Naya bakal ulang tahun," ujar Naya tersenyum, "apa papa juga akan mengajak Tara merayakannya bersama dengan kita? 'kan hari itu juga hari spesialnya dia."
Arka memalingkan wajah ke arah lain, Tara dapat melihat ekspresi papahnya yang berubah drastis.
"Tidak. Tidak perlu, dia bukan bagian dari keluarga ini. Seandainya dia tidak membunuh Tiara, mungkin besok lusa kita akan merayakan sama-sama."
"Tidak ada rasa sayang sedikitpun untuk Tara di hati papa? Apa Papa nggak bisa ngerasain penderitaan Tara?" tanya Naya berharap ia bisa melihat secuil harapan di mata sang ayah.
"Papa sudah bilang, papa tidak perduli padanya, Naya!" Arka mulai meninggikan suara.
Naya yang sudah muak tidak tinggal diam. "Lantas kenapa papa sayang sama Tiara, perduli sama dia? Papa lupa Tiara dan Tara itu kembar, mereka punya wajah yang sama dan perilaku yang sama. Papa nggak boleh nyalahin Tara atas kematiannya Tiara, karena—"
"Cukup!" suara dari ambang pintu berhasil memotong ucapan Naya. Suara yang begitu familiar di telinganya.
"Tara," lirih Naya matanya dapat melihat sosok gadis yang berjalan dengan wajah tertekuk.
"Cukup, Kak. Lo nggak perlu maksain Pak Arka buat perduli sama gue, lo ingat kan gue udah ngebunuh kembaran gue sendiri, gue emang nggak pantas!" ucap Tara matanya berkaca-kaca.
Sementara itu Naya menggeleng tidak setuju dengan kalimat terakhir Tara. "Gue cuman perjuangin hak lo, Ra."
"Nggak perlu. Semuanya udah hilang. Lo nggak boleh kasar sama orang yang lebih tua apalagi orang itu sedarah sama lo. Udah, Nggak usah kayak gini lagi. Buang-buang waktu."
Tara mendekat ke arah Naya. "Ingat jangan pernah bongkar kejadian itu, biar gue aja yang nampung kesalahan itu. Lo jangan lakuin itu lagi, kalo lo benar-benar sayang sama gue," bisik Tara kemudian berjalan ke arah Arka yang sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraanya dengan Naya.
"Anda tahu, bahkan lidah saya keluh untuk mengatakan kalo saya masih di sini. Hati saya teriris setiap kali kedua orangtua saya menatap saya penuh kebencian. Tapi nggak papa, ini mungkin takdir yang harus saya jalani. Selain itu, saya juga pantas dapatin ini semua." gadis itu berlalu meninggalkan ruang tamu menuju satu-satunya tempat paling indah di rumah ini.
Naya mengembuskan napas kasar. "Papa akan nyesal dengan ucapan papa sendiri. Naya pastiin dan saat itu terjadi papa dan mama akan menangis memohon-mohon pada tuhan untuk mengakhiri rasa penyesalan itu." Naya berlalu meninggalkan Aa sendiri di ruang tamu dan menyusul Tara ke lantai atas.
Perkataan Naya seolah-olah menjadi lagu yang terputar-putar di otaknya. "Aku yakin, keputusanku tidak salah," tekad Arka.
Kebetulan saja, Tara baru ingin menutup pintu, Naya mengambil kesempatan itu untuk memasuki kamar adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara [END]
Teen FictionAttara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam jurang kehancuran, yang di buat oleh keluarganya sendiri. Bertahun-tahun ia hidup dalam kesakitan b...