10

5.7K 387 28
                                    

"Auw! Ya Tuhan, badan gue sakit banget," ringis Tara saat berusaha menggerakkan tubuhnya.

Gadis itu bisa merasakan usapan lembut nan hangat di keningnya. Terbayang dibenak bahwa Seinalah yang melakukannya.

"Non Tara, udah bangun? Non baik-baik aja, 'kan?" tanya Bi Maryam sembari menerbitkan seulas senyum ramah.

"Bibi, kok bisa di sini? Aku baik-baik aja, kok." Tara serasa ditampar dengan sangat keras melihat siapa yang duduk di pinggir ranjangnya. Kebodohan jika ia berpikir bahwa ibunya yang melakukan itu. Bahkan saat disiksa pun, wanita yang merupakan malaikat bagi Tara hanya diam menyaksikan seolah menonton sebuah pertunjukan sulap. gadis itu beranjak dari posisi tidurnya kemudian mengusap wajah secara perlahan.

"Bibi ke sini soalnya Bibi khawatir sama, Non Tara. Pasti Non pikir Bibi nyonya, 'kan?" tanya Bi Maryam berusaha menebak isi hati majikannya.

Tara tersenyum miris, pertanyaan yang sangat menusuk baginya. Harapan mustahil yang selalu menghampiri benaknya setiap saat menjadi benalu dalam hidupnya.

"Nggak, kok, Bi. Lagi pula mustahil, kan, kalo mama yang masuk ke kamar aku. Ya udah, Bibi sekarang boleh keluar nanti di cariin sama mama."

Wanita paruh baya itu keluar dari kamar anak majikannya tak lupa menutup kembali pintu yang dibukanya tanpa izin. Sedangkan, Tara gadis itu berjalan dengan langkah lunglai menuju tempat ia berkutat selepas bangun dari mimpi indahnya.

Tidak butuh waktu yang cukup lama. Tara sudah menyelesaikan ritual-ritual paginya. Ia berjalan menghampiri lemari tua untuk mengambil seragam baru karena tidak mungkin ia memakai seragam yang penuh bercak darah dan sobek itu. Bukan simpati yang ia dapat melainkan hinaan dan tuduhan yang tidak masuk akal. Mungkin saja ia akan dituduh melenyapkan nyawa seseorang, gila bukan?

Perlahan, gadis itu mengenakan seragam sesekali meringis menahan sakit yang berasal dari luka-luka tubuhnya. Ia juga melapisi seragamnya dengan jaket hitam pekat berharap teman-teman tidak melihat luka yang berusaha disembunyikannya dari dunia. Tetapi lagi-lagi Tara hanya membuat kepercumaan. Yah, dia mungkin lupa wajahnya juga terluka.


"Nggak usah sekolah kalo masih sakit!" tegur Fian yang baru saja keluar dari kamarnya.

Tara menghentikan langkah mendengar celetukkan dari seorang lelaki muda dengan suara serak basah khasnya. "Urusin aja hidup lo. Nggak usah ngurusin gue, kitakan bukan keluarga," sindirnya tanpa membalikkan tubuh ke arah sumber suara berasal.

Mendengar ucapan yang terlontar di mulut adik bungsunya, entah kenapa hatinya sangat sakit. Seharusnya ia merasa senang bukan malah tak suka seperti ini.

"Ya udah, terserah lo! Gue cuman nggak mau Raffael salah paham sama gue," jawab Fian berusaha biasa saja padahal dalam hati kecilnya ia merasa khawatir dengan adik bungsunya selepas melihat hukuman yang papanya berikan semalam.

"Eh, Ra, selamat pagi. Lo udah bangun, gimana keadaan lo? Udah mendingan, 'kan?"

Pertanyaan tiba-tiba dan bertubi-tubi yang dilontarkan Naya membuat Tara mendengkus kesal dan kembali menghentikan langkah. Kini ia membalikkan tubuh ke arah pemilik suara.

"Baik, pagi. Gue duluan," jawab Tara seadanya. Gadis itu berjalan melanjutkan langkah menuju lantai utama meninggalkan Naya dan Fian yang menatap cengo ke arahnya.

"Udah, Fian santai aja. Kasihan nggak disapa balik," ledek Naya sembari mengusap lembut pundak lelaki yang cukup tinggi itu. Ia kemudian mendekatkan wajahnya seraya berkata, "lo pasti iri, 'kan? Makanya ego jangan terlalu tinggi!"

"Terserah!"

----

Gadis berperawakan mancung, berbulu mata lentik itu kini melangkahkan kaki meninggalkan area parkiran. Kali ini ia datang terlalu pagi buktinya manik cokelat pekatnya belum melihat siswa yang biasanya mengoceh tak jelas disepanjang koridor kelas X.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang