Naya tersenyum puas menatap sosok yang kini berdiri di hadapannya dengan meneteng sebuah kotak yang entah apa isinya.
"Selamat ulang tahun sampah masyarakat, gue benci sama lo," ujar gadis itu seraya membuka penutup kotak menampilkan deretan kue donat dengan taburan yang menggoda mata untuk segera mencicipinya. "Gue benci lilin, makan aja kue ini dengan itu hutang gue lunas."
Naya tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan adiknya. "Gue tau lo sayang sama gue." Gadis itu kembali melanjutkan tawanya yang terjeda.
Tara menatapnya datar seraya menyuapkan satu buah donat ke dalam mulut gadis yang sedang tertawa itu. "Benci bukan sayang!"
Naya mengunyah dengan cepat kue yang memenuhi mulutnya, ia tak sabar membalas ucapan Tara. "Orang gengsi kalo bilang sayang pasti pake kata 'benci', semua orang juga tau kali."
"Serah lu! Ambil, makan semua! Harganya mahal!"
Naya mencebikkan bibirnya. Dia merasa heran kenapa mulut adiknya selalu saja berkata sinis. Bahkan di hari bahagianya pun, manusia itu tak merubah wujud. "Marah-marah mulu perasaan, harusnya gue yang marah, waktu gue tersita lima belas menit hanya untuk pantauin pintu utama, tau nggak!"
"Hubungannya ama gue apa?"
Naya mengerjapkan matanya sesaat, untung saja umurnya belum mencapai kepala tiga. Jika iya, mungkin sekarang ia akan terserang penyakit stroke. Gadis itu memilih diam daripada perdebatannya takkan usai hingga matanya kembali dimanjakan dengan senja.
"Udah gue nyerah, lo selalu benar."
Tara tersenyum miring. "Emang." Namun, di balik sinisnya, gadis itu berusaha mati-matian menahan sakit kepala yang membuat penglihatannya kembali mengabur. Hal tersebut tak boleh Naya tahu sebab akan merusak senyum lebar yang dirinya ciptakan.
Sayang beribu sayang, indera penciuman milik Tara sepertinya tak ingin lagi menyembunyikan semuanya. Sesuatu yang mengalir di sana membuat mata gadis di hadapannya membulat.
"Ra, hidung lo ...."
Dengan cepat Tara menyeka darah yang mengalir dari sana dengan sapu tangan pemberian Raka, kemudian melempar kain tersebut ke arah tong sampah yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. "Nggak papa, lupain aja."
"Nggak papa gimana, lo mimisan, Ra! Bilang sama gue, fakta apa lagi yang lo sembunyiin?"
Tara meneguk saliva seraya menggigit bibir bawahnya. "Nggak ada."
"Apa karena ulah papa beberapa hari yang lalu?"
"Nggak!"
Naya meremas kuat bahu Tara sesekali menggoyangkannya. "Jangan bohong! Okey, kalau begitu tatap gue sekarang dan jawab pertanyaan gue. Apa yang lo sembunyiin dari gue?"
"Naya, ngapain lo di sana?!"
Teriakan itu berhasil membuat Naya menoleh dan membuat Tara bisa bernapas lega.
Naya berdecak kesal, melihat sosok itu tengah berjalan ke arahnya. Raut kekesalan di wajah Naya tergantikan ketegangan, mobil sedan berwarna hitam yang sepertinya hilang kendali melaju cepat ke arah Fian yang tengah berjalan tanpa memperdulikan sekitarnya. "Fian! Awas!"
Brak!!
Besi berwarna gelap itu menghantam tubuh yang menghalangi jalannya. Histerisan orang yang juga menyaksikan hal menegangkan yang terjadi beberapa detik lalu mengundang para pengunjung pesta berhamburan keluar menghampiri sosok yang kini terkapar bermandikan cairan merah pekat di atas kasarnya permukaan aspal.
Naya berdiri mematung dengan napas yang tak sanggup diaturnya dengan benar. Kotak donat yang dipegangnya jatuh berserakan, gadis itu berlari menembus kerumunan yang melingkari korban kecelakaan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tara [END]
Подростковая литератураAttara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam jurang kehancuran, yang di buat oleh keluarganya sendiri. Bertahun-tahun ia hidup dalam kesakitan b...