18

4.6K 317 33
                                    

Pagi ini di kediaman Mahardika seluruh anggota keluarga sudah berada di meja makan untuk melakukan rutinitas paginya, sarapan bersama.

"Gimana sekolah kamu, Agra?" tanya Vano kepada anak bungsunya sembari melihat pergerakan istrinya yang membawa menu sarapan menuju meja makan.

"Baik, Yah." Agra mengambil satu lapis roti lalu memberi selai coklat di atasnya.

"Oh, yah, sayang kapan kamu bawa pacar kamu kesini?" pertanyaan yang dilontarkan ibunya membuat Agra tersendak.

"Kalo makan itu pelan-pelan," ucap lelaki yang duduk di sampingnya, tidak lain adalah anak sulung keluarga ini—Raka Alvaro Mahardika.

"Secepatnya, Bunda."

"Bunda, penasaran seperti apa gadis itu, Raka kalo kamu kapan bawa pacar ke sini?" Lita beralih pada putra satunya yang sibuk melahap nasi goreng dan juga menatap layar ponsel. Lita wanti-wanti jika sewaktu-waktu sang anak malah menyuapi hidungnya. "Sayang, fokus makan. Pikirannya jangan kemana-mana dong."

"Eh, maaf, Bun. Baru pdkt sih soalnya ceweknya susah banget ditaklukkin," sahut Raka meminum habis jus yang diberikan ibunya.

"Ceh, siapa, Ka? Permainan kali ditaklukan, kok gue nggak tau." Agra melirik sekilas kakaknya.

"Nggak semua masalah gue lo harus tau, kali ini rahasia," ujar Raka sok misterius.

"Ok gue mau lo bawa pdkt lo itu ke sini pas gue bawa pacar gue, deal!" tantang Agra dengan tangan ia sodorkan ke depan seperti orang berkenalan.

"Deal!" Raka membalas jabatan tangan adiknya.

"Yavampun gue hampir lupa." Agra menepuk jidatnya. "Bunda, ayah, dan Raka. Agra pamit dulu udah ada janji." Agra lalu mencium kedua tangan orang tuanya seperti halnya anak yang pamit pergi ke sekolah.

"Hati-hati sayang!" peringat Lita kepada anak bungsunya yang sepertinya terburu-buru.

"Aku juga pamit, yah." Raka pun melakukan hal sama yang dilakukan oleh adiknya sebelum berangkat, lelaki itu berlalu meninggalkan ruangan dengan tas bertengger di bahu. Jika Agra selalu pergi dengan langkah buru-buru bahkan kadang-kadang mencomot minuman sang kakak, maka Raka versi santainya.

"Tumben lo nggak bawa mobil? biasanya juga gitu." Raka mengerutkan kening saat adiknya melewati bagasi khusus kendaraan roda empat.

"Oh, iyya, mulai hari ini dan seterusnya gue bakalan pake motor karena kalo naik motor bisa dipeluk sama dia," ujar Agra cengengesan.

"Idih, bucin banget lo," timpal Raka bergidik jijik. Ia berjalan ke arah bagasi menghampiri mobil-mobil mewah yang terparkir di sana.

----

Tara sudah siap dengan seragamnya yang berantakan bahkan dasinya belum terpasang dengan baik, pasalnya ia tidak pintar memakai dasi sendiri, biasanya Meysha yang akan memasangkannya setiap pagi.

Kali ini ia tidak membawa Earphone, benda yang selalu mengganjal indera pendengarannya rusak, ia hanya membawa headset sebagai gantinya.

Seperti pagi-pagi biasa ia hanya akan menyaksikan keluarganya yang begitu harmonis, tanpa bisa bergabung di sana. Ia malah hanya menjadi penonton setia setiap paginya.

Sesampainya di lantai satu gadis itu langsung memasang alat pengganjal telinga, kejadian semalam membuatnya tak cukup kuat mendengar caci makian maupun sindiran dari keluarganya.

Tara berjalan lurus tanpa menoleh ke salah satu tempat terjadinya keharmonisan keluarga besarnya itu.

"Lihat anak itu, Pah, nyelonong aja pergi tanpa pamit," ujar Seina menatap sinis kearah Tara.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang