52

6K 387 63
                                    

Kedua mata yang beriris cokelat gelap menatap sayu indahnya mentari saudara sang senja. Kicauan-kicauan burung menghias sepi yang kian Tara rasakan walau saat ini pemilik kediaman tempatnya berdiri adalah manusia yang jauh bahkan sangat berbeda dari keluarga yang menganggapnya duri pembawa kesialan.

"Balkon kamar ini jauh lebih bagus dijadikan tempat menikmati perhiasan malam dan pagi. Tapi, gue malah ngerasa sedih dan nggak puas. Apa karena bukan dari balkon kamar non-aestetic gue? Emang, yah, meski sering tersakiti tetap merasa rindu dan ingin kembali hanya karena terlanjur nyaman."

Gadis itu terkekeh pelan mengingat kembali perkataan yang ia lontarkan beberapa detik lalu. Berbicara sendiri dilakukan bukan karena tidak waras, melainkan untuk membantu menguatkan diri yang betah memendam sendiri. Tidak ada kamar suram nan gelap, tidak ada kaca wastafel untuk meluapkan emosi dan tidak ada lagi jam beker berbentuk kotak kesayangan yang harus dibentaknya setiap pagi. Tara merindukan semuanya, rumah dan bahkan keluarga itu. Kenapa? Bukankah ia seharusnya merasa senang jauh dari mereka yang menyiksa batin hingga fisiknya? Kenapa ia malah merasakan kesepian yang dua kali lipat lebih pedih?

Kerinduannya terobati sedikit dengan Naya yang semenjak kemarin malam sering mengabarinya. Walau fokus berbicara dengan saudara, sama-samar Tara bisa mendengar percakapan kebahagian anggota keluarga yang lain dalam mempersiapkan ulang tahun kakaknya itu.

Hari ini adalah hari kebahagian bagi keluarga Ganendra. Namun, bagi Tara hari ini adalah hari yang membuatnya kembali dipertemukan dengan sebuah pilihan yang besar bagi kehidupannya.

"Om, tunggu kedatangan kamu, Nak. Ada kemungkinan kamu akan sembuh seperti sedia kala. Kabarnya dokter spesialis otak itu datang kurang lebih jam 08.00 malam, jangan sampai terlambat, yah, Nak. Kamu tau betapa susahnya Om mencari dokter itu."

"Pokoknya lo harus dateng sesuai janji lo ke-gue, gue tau lo bukan tipe orang yang suka berutang. Gue bakal tiup lilin kalo lo udah di sini. Emm, jadwalnya, sih, malam sekitaran jam depalanlah."

Masih terbayang dibenak Tara bagaimana bahagianya Vano dan bagaimana antusiasnya Naya. Gadis itu meremas kuat rambutnya menahan sakit yang kembali menghampiri. Tidak hanya itu, Tara mulai terbatuk dan memuntahkan cairan merah bahkan ia kerap kali tak sadarkan diri tanpa ada yang mengetahui.

Uhuk! Uhuk! Uhuk!

"Gue harus mentingin apa yang paling penting. Gue udah nggak cukup kuat nahan ini semua." Tara mengerjapkan matanya pelan kemudian melangkahkan kaki memasuki toilet untuk membersihkan noda merah di tangan dan sudut bibirnya.

----

Meysha menatap intens wajah gadis yang duduk di depannya. Suram tak bercahaya dan yang lebih mencuri perhatiannya adalah bibir yang saat ini dihias oleh Liptink padahal ia begitu tahu sahabatnya adalah orang yang tak suka dengan hal-hal yang berbau seperti itu.

'Kenapa gue harus curiga? Justru bagus kalau Tara udah mulai pake liptink. Dia lebih cewek jadinya.'

Aundry tersenyum jahil menatap Meysha, ia memiliki sejuta ide untuk membuat gadis sebayanya itu menjadi wujud yang menyeramkan.

"Eh, Sha! Lo keselek, ya?!" tanya Aundry sedikit berteriak diiringi dengan pukulan cukup keras yang mendarat tepat di punggung leher Meysha.

Sang korban yang notabenya sedang menyeruput coffe itu, akhirnya benar-bener tersendak. Bukannya membantu Aundry malah tertawa terpingkal-pingkal seraya memukul-mukul lengan gadis lain yang tengah menyodorkan air dan tissue ke arah Meysha.

"Makanya minum jangan sambil ngekhayalin pacar gini 'kan hasilnya. Untung nggak mati!" bentak Tara memijit-mijit keningnya.

"Setan kalian berdua! Tapi lo lebih dakjal, Dry, moga aja pas lu makan nanti lo keselek sampai nggak bisa napas!" pekik Meysha dengan mata melotot nyaris keluar dari persembunyiannya. Hal ini membuat Aundry diam tak berkutik. "Kenapa diem? Jangan macem-macem lu, lu nggak tau kutukan gue nggak pernah meleset!"

"Siapa takut?! Orang tak beriman kayak lo mana bisa ngutuk orang yang beriman tinggi kayak gue!" balas Aundry tak mau kalah. Kedua gadis itu bahkan tak merasa malu karena sejak tadi menjadi perhatian bahkan bahan instanstory.

Meysha terkekeh seraya tersenyum meledek. "Beriman tinggi? Sholat aja masih bolong kayak anak SD."

Tara hanya menghela napas kasar. Saat ini, ia memilih diam tak ingin ikut campur dan  menikmati suasana cafe serta hidangan yang tersaji di meja. Satu objek membuat retina matanya berhenti, lelaki bertopi dan berhoddie hitam itu juga menatapnya.

"Agra," guman Tara ketika lelaki itu berhasil memutuskan pandangan darinya. Seperkian detik kemudian tampak Raka pemilik cafe itu menarik kuat tangan yang Tara klaim sebagai Agra.

"Eh, kampret! Merhatiin siapa, sih?" Tara yang sedikit terkejut mengarahkan pandangan pada Aundry.

"Bukan urusan lo!"

Meysha yang memerhatikan Tara sedari tadi, tau bahwa Raka yang diperhatikan sahabatnya bukan lebih tepatnya lelaki tinggi berpakaian serba hitam layaknya mata-mata itulah.

"Sinis amat, sih, sama kembaran," ujar Aundry mencomok es yang tertanam dalam minuman yang Tara pesan.

Tara berdecak kesal melihat kelakuan Aundry yang tak tahu malu itu. "Dasar cewek jorok!"

"Jorok, tapi lo sahabatan sama dia. Ye, 'kan?"

"Udah, ah. Kalian kayak anak kecil aja." Meysha menengahi percakapan kedua gadis sebayanya. Jika tidak, semua itu akan berakhir dengan tangisan Aundry.

Di sisi lain Agra yang kesal di tarik paksa lantas dengan cepat mengempas kasar tangan yang mencengkram pergelangannya.

"Apaan, sih, lo?!"

"Ngapain lo ke sini? Hah?!" tanya Raka sedikit membentak.

Agra tersenyum miring seraya melepaskan topi yang membuatnya sedikit gerah. "Kenapa? Takut gue ganggu kesempatan pacarannya ama Tara?"

"Tutup mulut lo, Agra!"

"Kenapa? Salah?"

Raka melayangkan satu bogeman hingga membuat sang adik jatuh tersungkur di lantai cokelat ruangannya.

Agra mengusap pelan sudut bibirnya. "Lo ngelakuin ini hanya karena cewek pembunuh itu?"

"Diam! Diam lo! Jangan sebut kata itu lagi atau ...." Raka menjeda ucapannya seraya menarik napas berusaha mengendalikan emosi yang meluap-luap di dalam sana.

"Atau?"

"Atau gue bakal lupain kalau kita adalah saudara." Jawaban kakaknya itu membuat Agra tertohok. Segitu cintanya sampai rela membawa-bawa nama persaudaraan?

"Waw!" Lelaki dengan mata beriris cokelat gelap itu berdiri seraya bertepuk tangan. "Cinta emang ngebuat seseorang gila. Gue nggak nyangka lo bakal ngomong itu. Apa, sih, yang dikasih cewek itu sama lo? Apa jangan-jangan lo dipelet lagi."

"Diam, Gra. Itu karena dia lagi sa ...."

"Rahasiakan apa yang bokap lo omongin tentang gue di rumah sakit."

Kalimat itu tiba-tiba saja mengisi otak hingga  menjeda ucapannya. Ingin memberitahu. Namun, ia tidak mau merusak kepercayaan Tara padanya. lagipula walaupun diberitahu ia yakin Agra tidak akan perduli melihat betapa bencinya lelaki itu pada Tara.

"Karena gue suka sama dia."

Agra mendengkus menahan tawa. "Udah ketebak." Selepas mengatakan itu Agra kembali memasang penutup kepala yang ia bawa agar bisa membuntuti Tara tanpa diketahui siapapun.

"Agra, tunggu," panggil Raka yang berhasil menghentikan langkah sang adik. "Semua orang punya kesalahan dan lo harus ingat kadang-kadang kebencian itulah yang akan mengantarkan kita pada penyesalan. Setidaknya temui dia."

Lelaki itu hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu.

"Jangan bilang gue nggak peringatin lo, Gra. Gue bakal nunggu saat dimana Tara ngebuang lo dari hatinya," lirih Raka menatap punggung adiknya yang mulai menjauh.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang