0.9

5.1K 402 55
                                    

Saat ini, Fian dan Naya sudah berada di dalam kediamannya beberapa menit yang lalu. Di hadapan mereka berdiri dua manusia yang tengah dilanda kemarahan. Dipikiran Naya hanya ada satu nama yaitu 'Tara' ia sudah menduga hal ini akan terjadi lagi.

"Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Arka berusaha tidak memperlihatkan emosinya di depan anak-anak.

"Itu semua gara-gara Tara, Pa," jawab Fian dengan wajah yang menunduk seraya memainkan jari-jemarinya.

"Fian ....," lirih Naya yang masih bisa didengar jelas oleh lelaki di sampingnya. Rasanya ingin sekali ia merobek bibir Fian. Sungguh, apakah lelaki itu tidak bisa menutup mulutnya kali ini?

"Kenapa selalu saja anak itu, apa dia tidak puas dengan apa yang dia lakukan pada Tiara beberapa tahun yang lalu?!" geram Seina kedua alisnya bertaut dengan wajah memerah padam siap mengeluarkan gempulan asap di masing-masing kupingnya.

Arka melirik arloji hitam klasik yang melingkar di tangan. "Saya akan beri dia pelajaran."

"Tapi, Pa, Tara nggak salah apa-apa ini semua cuman salah paham," ucap Naya berusaha memperbaiki keadaan, bukan keinginannya menjadi seseorang yang menyebabkan Tara terluka.

"Udah, kalian ke atas aja, cepat!" perintah Arka berintonasi cukup tinggi.

Fian bangkit dari duduknya kemudian menarik tangan Naya untuk meninggalkan ruangan tersebut. Akan tetapi di pertengahan tangga langkah kedua remaja itu kembali terhenti kala mendengar teriakan murka sang ayah.

"Sini kamu anak pembangkang!" teriak Arka saat melihat gadis muda berjalan memasuki kediamannya. Seluruh penghuni rumah menghentikan aktivitas, para pembantu dengan gercap bersembunyi di balik benda yang besar untuk menyaksikan drama keluarga yang tiada habisnya.

"Kenapa? Ada perlu apa Anda dengan saya?" tanya Tara dengan raut wajah datar lebih tepatnya lelah.

Plak!

"Kurang ajar kamu, yah!" kedua mata pria paruh baya itu memerah, tatapan tajam tertuju ke arah gadis yang baru saja datang. Mungkin, sebagian orang yang melihatnya lebih memilih menghindar daripada harus melihat mata yang nyaris keluar dari tempatnya itu.

Sementara Tara berusaha menahan perih di wajahnya akibat tamparan keras dari Arka. Ia sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi, kedua matanya melirik ke arah tangga. Di sana berdiri dua orang remaja yang ia tahu menjadi penyebab dari kemarahan ini.

"Apa salah anak saya, sampai kamu tega melukainya?!" tanya Seina dengan nada yang cukup tinggi.

"Saya tidak melakukan apa-apa pada anak Anda, jadi tolong minggir dari jalan saya," ujar Tara berusaha berbicara dengan nada dingin tidak ada tanda-tanda emosi yang terkandung di dalam kalimatnya.

"Tidak bisakah kamu sopan pada kami? Sudah baik kami mau membesarkan dan menampung kamu di sini! Dasar anak tidak tahu terima kasih! Mending mati aja kamu, nggak ada gunanya kamu hidup!" murka Arka tangannya sudah meneteng sebuah ikat pinggang yang sering digunakannya untuk memukul tubuh putri bungsunya tanpa ampun.

Ctak! ctak! ctak!

"Dasar anak nggak tahu diri, kurang ajar sekali!" bentak Arka tanpa berhenti memukuli anak malang itu.

Ctak! ctak! ctak!

"Ampun pa ... ampun ... tapi Tara benar-benar nggak ngapa-ngapain Kak Naya. Ampun, pa, Tara mohon! sakit ... Pa!" Kira kira begitulah ringisan yang keluar dari bibir pucat Tara, kini ia benar-benar tak kuasa menahan air mata untuk turun diri dan batinnya begitu tersakiti.

Tara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang