Chapitre Quarante-Cinq - 45

2.3K 258 7
                                    

Jalan terjal jalur barat membuatnya mual.

Berkali-kali Igirtte harus meminta kusir berhenti untuk mengeluarkan isi perutnya. Belum lagi kepalanya terasa berputar. Padahal jalur itu adalah jalur umum saat mengantar Lady Elisabeth menuju atau kembali dari Istana Utama. Namun, kali ini menjadi tantangan berat tersendiri baginya.

Itu semua karena kereta kuda sewaan.

Ia tidak mungkin menggunakan kereta kuda milik Lady Elisabeth ataupun menyewa kereta kuda langganan. Terlalu mahal baginya. Sedangkan kereta kuda murah dan nyaman lainnya, enggan mengantarnya ke wilayah barat.

Katanya jalan barat terlalu terjal dan sulit dilalui. Itu memang benar. Terbukti dengan dirinya sekarang.

"Pak! Bisa menepi sejenak?!" ucap Igritte setengah berteriak dari jendela. Angin semilir menerbangkan anak rambutnya yang tidak terikat.

"Kita tidak bisa berhenti, Nona," ucap si Kusir. Tangannya masih sigap memegang tali kekang. "Matahari sudah mulai beranjak turun. Setidaknya kita harus melewati perbatasan untuk sampai di Benteng Barat malam hari."

Igirtte menghela napas. Bukan hanya perutnya saja, namun kepalanya juga terasa berputar. "Setidaknya beri aku lima menit. Kumohon," pintanya. Ia bahkan bisa merasakan rasa manis dan pedas bekas makan paginya.

"Sesungguhnya aku sangat ingin, Nona. Tapi bersabarlah. Kau pasti tidak akan menyukai perihal melewati malam di jalan ini."

Setelah itu, Igritte berusaha menahan rasa mualnya sekuat tenaga. Sesekali ia merubah posisi duduk dengan meluruskan kaki. Berharap dengan posisi itu, rasa mualnya berkurang.

Cakrawala kala itu mulai berganti warna. Semburat jingga dan violet bercampur membentuk gradasi. Burung-burung bergerombol terbang melintasi langit. Semilir angin membawa udara kering. Sore itu ia melihat kehidupan terus berjalan di depannya.

Langit kini berganti kelam ketika kereta kuda mencapai perbatasan kota. Benteng menjulang tinggi di hadapannya. Pandangannya terhenti pada sebuah kereta kuda sewarna cokelat di depan gerbang. Beberapa prajurit mengelilingi kereta kuda itu sebelum kemudian diperbolehkan melewati gerbang.

Butuh beberapa waktu untuk kereta kudanya dapat melewati gerbang. Peperangan membuat penjagaan perbatasan sangat ketat. Mungkin itu sudah tengah malam ketika kereta kudanya sampai di pusat kota. Di sana sepi. Beberapa prajurit hilir-mudik sepanjang jalan kadipaten.

Kereta kuda saat itu mulai memelan, kemudian berhenti diikuti kepala Igirtte yang menyembul dari dalam kereta kuda. "Ada apa?" tanyanya. Seharusnya perjalanan menuju Kastil Montmorency masih sekitar satu jam lagi.

"Sepertinya kereta kuda dilarang masuk, Nona," ucap si Kusir seraya memegang topinya.

Kening Igritte berkerut. "Begitukah?" Pandangannya mengarah pada pusat kota yang dijaga oleh beberapa prajurit. "Kalau begitu ...," ucapnya lagi seraya membenarkan bawah bajunya, kemudian turun dari kereta. "Aku jalan saja."

Sebenarnya itu pilihan sulit. Karena Kastil Montmorency berada di antara pusat kota dan Benteng Barat. Itu sangat jauh jika dibandingkan dengan menggunakan kereta kuda. Tapi mungkin ia bisa meminta tolong pada salah satu prajurit untuk mengantarnya, pikirnya.

"Baiklah, Nona. Mohon maaf sekali lagi."

"Tidak apa," ujar Igritte sembari menyodorkan sebuah kantung sewarna cokelat. "Ini bayarannya." Lalu pergi meninggalkan si Kusir.

Kala itu Igritte sedang berpikir cara untuk dapat sampai di Kastil secepat mungkin ketika suara familiar memanggil namanya.

"..., Bukankah seharusnya kau di Istana Utama?"

ParallelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang